Aku dan Tikus Bulan: Cerita Aneh dari Pedalaman Kalimantan

Halo Sobat Guru Pedalaman,
Apa kabarnya hari ini? Semoga selalu sehat dan penuh semangat, di mana pun kalian berada. Kali ini aku ingin berbagi cerita unik yang terjadi beberapa waktu lalu saat aku masih tinggal sendiri di pedalaman Kalimantan, ketika istri dan anak-anak belum bisa ikut tinggal bersamaku.

Moonrat

Beberapa tahun lalu, setelah putri pertama kami berumur sekitar empat tahun dan menjelang kelahiran anak kedua, istri memutuskan untuk kembali ke kampung halaman untuk melahirkan. Sejak saat itu, kami hidup di dua atap, aku di pedalaman, dan mereka di tempat asal  selama kurang lebih empat tahun sebelum akhirnya kami bisa kembali tinggal bersama lagi.

Nah, di masa-masa sendiri itulah banyak pengalaman kecil tapi berkesan aku alami. Termasuk urusan sederhana seperti mencari makan sendiri, memancing di sungai, atau mengolah hasil tangkapan untuk menu sehari-hari.

Sore di Tepi Sungai

Suatu sore di hari Kamis, aku seperti biasa memasang jaring di tepi sungai untuk mencari ikan. Tapi karena ada kegiatan lain, aku sempat lupa untuk mengangkatnya. Barulah setelah malam turun, sekitar pukul tujuh, aku bergegas ke sungai mengambil jaring itu. Karena takut turun hujan, aku biasanya tak pernah meninggalkan jaring semalaman. Jika arus tiba-tiba deras, jaring bisa hanyut terbawa air.

Hewan langka kalimantan

Malam itu aku pulang dengan beberapa ekor ikan hasil tangkapan. Aku pun menuju dapur belakang, dapur tambahan yang dibuat sederhana tanpa atap dengan lantai dari kayu Benuas, tempat biasa kami mencuci piring, pakaian, dan membersihkan ikan. Namun karena umur bangunan yang sudah tua, beberapa papan lantainya mulai lapuk dan berlubang.

Di pedalaman ini belum ada listrik PLN, jadi peneranganku hanya berasal dari lampu LED kecil yang tersambung ke power bank. Beberapa ruangan utama rumah memang mendapat pasokan listrik dari aki tenaga surya, tapi cahayanya terbatas.

Suara Aneh di Bawah Lantai

Ketika sedang membersihkan ikan, tiba-tiba aku mendengar suara aneh  “grok… grok…” pelan tapi jelas, seperti suara babi kecil. Aku sempat terdiam. Malam Jumat, suasana sunyi, hanya suara serangga dari hutan  di belakang rumah. Dalam hati sempat muncul pikiran aneh-aneh.

Namun setelah mencoba menenangkan diri dan memperhatikan lebih seksama, aku melihat sesuatu muncul dari celah kecil di bawah papan dapur: seekor hewan berbulu putih dengan moncong panjang.

Awalnya aku kira landak, tapi bulunya bukan duri, lebih halus, meski tampak kasar karena basah. Ukurannya lumayan besar, hampir seukuran anak kucing. Anehnya, hewan itu sama sekali tidak tampak takut padaku. Ia justru berusaha naik ke dapur, mengendus-endus sisa perut ikan yang tadi aku sisihkan.

Karena penasaran, aku mengambil kamera dan memberinya seekor ikan kecil. Ia langsung menggigit dan menariknya ke bawah papan. Saat itulah aku berhasil mengabadikan foto yang menurutku cukup langka seekor tikus bulan berwarna putih yang sedang makan ikan di hadapan ku.

Si Tikus Bulan yang Misterius

Beberapa hari kemudian, setelah membaca dari beberapa sumber dan buku satwa liar Kalimantan, aku baru tahu kalau hewan itu bukan tikus biasa. Namanya tikus bulan atau moonrat (Echinosorex gymnura).

Tikus bulan ini sebenarnya bukan tikus dalam arti sesungguhnya, melainkan termasuk keluarga landak bulan (Erinaceidae), yang masih berkerabat dengan landak mini (hedgehog). Habitatnya tersebar di hutan tropis Asia Tenggara, termasuk di Kalimantan, Sumatra, dan Semenanjung Malaya.

Ciri khasnya adalah moncong panjang, tubuh besar (bisa mencapai 40 cm), dan bau tubuh yang cukup menyengat  mirip campuran tanah dan hewan pengerat. Warna bulunya bervariasi dari cokelat gelap hingga putih pucat. Yang aku temui malam itu adalah jenis yang berwarna putih dominan, seperti dalam foto di atas.

Tikus bulan aktif pada malam hari dan dikenal sebagai pemakan serangga, cacing, katak, dan kadang juga ikan kecil. Mereka jarang terlihat karena sifatnya yang soliter dan pemalu, sehingga pertemuan dengannya bisa dibilang cukup langka  apalagi di sekitar permukiman manusia.

Penutup

Malam itu menjadi salah satu pengalaman tak terlupakan selama aku tinggal sendiri di pedalaman. Dari rasa kaget, penasaran, sampai akhirnya merasa bersyukur bisa melihat langsung satwa liar yang jarang muncul di hadapan manusia.

Hidup di pedalaman memang selalu penuh kejutan. Kadang datang dari hal-hal kecil, dari suara di bawah lantai dapur, atau dari seekor tikus bulan yang diam-diam ikut mencuri ikan di malam yang sunyi.

Sampai jumpa di cerita berikutnya, Sobat Guru Pedalaman.
Semoga hari-harimu juga penuh kejutan yang berkesan — tentu yang menyenangkan, ya!

Pelajaran Kehidupan dari Seorang Nenek di Pedalaman Kalimantan

Halo Sobat Guru Pedalaman,
Apa kabarnya hari ini? Semoga selalu sehat dan penuh semangat dalam menjalani hari-hari yang penuh warna di manapun kita berada. Kali ini, aku ingin berbagi sebuah kisah yang cukup berkesan selama aku bertugas di pedalaman Kalimantan kisah tentang seorang nenek yang secara tidak langsung telah menjadi salah satu guru kehidupanku di tempat ini.

Pertemuan dengan Sang Nenek

Di antara warga di sekitar tempat tugasku, ada seorang nenek yang sangat aku hormati. Beliau adalah seorang penganut Hindu Kaharingan, kepercayaan asli masyarakat Dayak yang begitu kental dengan nilai-nilai spiritual dan penghormatan terhadap alam.

Kisah Nyata Pedalaman Kalimantan

Meski kami berasal dari latar belakang yang berbeda, hubungan kami terasa begitu dekat. Dari beliau aku banyak belajar tentang kehidupan, kearifan lokal, dan juga... bahasa Dayak.

Awalnya aku hanya mampu memahami sedikit kata dalam bahasa Dayak, tapi nenek ini tidak pernah keberatan. Ia justru sabar menunggu aku menyusun kata demi kata, tersenyum setiap kali aku keliru, dan tetap berusaha memahami maksud ucapanku. Dari percakapan-percakapan sederhana itulah, kemampuan berbahasa Dayakku perlahan mulai berkembang dari yang semula pasif menjadi lebih aktif.

Obrolan tentang Kepercayaan dan Alam Gaib

Yang membuat setiap perbincangan dengannya selalu menarik adalah bagaimana beliau menceritakan banyak hal tentang kepercayaan Kaharingan dan pandangannya terhadap dunia yang tak kasat mata.

Beliau sering berkata bahwa di pedalaman seperti ini, “ada yang hidup bersama kita, walau tak terlihat.” Dalam pandangan beliau, makhluk halus juga memiliki tabiat seperti manusia  ada yang baik, ada yang tidak. Menurutnya, kita tidak boleh menyepelekan keberadaan mereka, melainkan perlu menghormati dan menjaga sikap saat berada di alam.

Sebagai seorang Muslim, aku tentu memiliki pemahaman yang berbeda. Namun dari obrolan itu aku justru belajar satu hal penting: bahwa penghormatan terhadap yang gaib dan terhadap alam adalah bentuk kesadaran spiritual yang universal, meskipun cara dan keyakinannya berbeda.

Buku Kecil Bersampul Hijau

Ada satu hal yang membuatku cukup terkejut. Di tengah-tengah kepercayaannya sebagai penganut Kaharingan, beliau ternyata juga memiliki sebuah buku kecil bersampul hijauMajmu’ Syarif.

Saat pertama kali beliau menunjukkannya, aku sempat heran. Buku kecil ini biasanya dimiliki dan digunakan oleh umat Islam sebagai kumpulan doa dan dzikir. Namun bagi beliau, buku itu punya makna yang berbeda. Ia percaya bahwa menyimpan buku itu dapat menjauhkan makhluk jahat dan membawa ketenangan di rumahnya.

Aku tidak melihatnya dari sisi benar atau salah, tapi dari sisi makna yang lebih dalam keyakinan dan keikhlasan seseorang untuk merasa dekat dengan Yang Maha Kuasa, apapun bentuknya. Dan dari situ aku belajar tentang toleransi yang sesungguhnya, bukan sekadar menerima perbedaan, tapi juga menghargai makna spiritual yang dimiliki orang lain.

Refleksi

Setiap kali aku berbicara dengan beliau, aku selalu merasa sedang belajar bukan tentang agama atau bahasa saja, tetapi tentang cara manusia saling memahami meski berasal dari dunia yang berbeda.

Dari nenek ini aku belajar bahwa kebaikan bisa melampaui batas keyakinan. Bahwa bahasa kasih dan ketulusan jauh lebih kuat daripada sekat-sekat perbedaan. Dan bahwa di tengah heningnya hutan Kalimantan, selalu ada ruang untuk saling menghormati, mendengarkan, dan belajar.

Sampai di sini dulu ceritaku kali ini, Sobat Guru Pedalaman.
Semoga kisah sederhana ini bisa menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kebaikan dan kebijaksanaan bisa datang dari siapa saja — bahkan dari seseorang yang berbeda keyakinan, namun memiliki hati yang begitu luas dan tulus.

Salam hangat dari pedalaman Kalimantan

Buah Kenyem: Si Anggur Hutan dari Pedalaman Kalimantan

Halo Sobat Guru Pedalaman,
Apa kabarnya hari ini? Semoga selalu sehat dan penuh semangat ya 🌿

Kali ini aku ingin berbagi cerita tentang kekayaan alam yang tumbuh di sekitar tempat tugasku di pedalaman Kalimantan. Salah satu hal yang selalu membuatku kagum adalah begitu banyaknya buah-buahan liar hutan Kalimantan, yang sering juga aku sebut sebagai buah-buahan Borneo. Ragam dan jenisnya sangat banyak—mulai dari yang sudah cukup familiar hingga yang benar-benar langka dan jarang terlihat di pasar, bahkan di pasar tradisional sekalipun.

Buah Ginalun atau Buah Kenyem

Salah satu buah yang menurutku paling menarik dan jarang dijumpai di tempat lain adalah buah Kenyem, atau dalam bahasa Banjar dikenal juga sebagai buah Balangkasua. Bentuk buah ini sekilas mirip dengan anggur, sehingga tak jarang masyarakat menyebutnya juga dengan nama anggur hutan. Warna buahnya yang sudah matang tampak sangat menggoda merah keunguan dengan kilau alami yang cantik di bawah sinar matahari.

Secara ilmiah, buah Kenyem dikenal dengan nama Lepisanthes alata. Buah ini tidak besar, dagingnya pun tidak terlalu tebal, bahkan bisa dibilang cukup tipis. Mungkin karena alasan inilah buah Kenyem jarang dijual di pasar. Namun, bagi kami yang tinggal di pedalaman, buah ini punya nilai tersendiri.

Di wilayah Kalimantan, terutama di pedalaman Katingan tempat aku bertugas, pohon Kenyem sering tumbuh liar di tepi-tepi sungai atau di dataran rendah yang lembap. Ketika musim buah tiba, kadang aku menemukan beberapa pohon yang sedang berbuah lebat. Biasanya, kalau kebetulan lewat dan melihat buahnya sudah matang, aku akan memetik beberapa untuk dicicipi. Isi buahnya memang tidak membuat kenyang, tapi ada sensasi unik perpaduan manis, sedikit asam, dan aroma khas hutan yang membuatnya berbeda dari buah-buahan lain.

Dari rasa penasaran dan keinginan untuk memperkenalkan kekayaan buah-buahan lokal inilah aku kemudian membuat sebuah kebun kecil yang ku beri nama Taman Suluh Pambelum. Di kebun ini, aku menanam berbagai tanaman buah lokal Kalimantan, termasuk buah Kenyem atau Ginalun ini. Saat ini, sebagian tanaman sudah tumbuh cukup besar, meski karena berasal dari biji, belum ada yang berbunga atau berbuah. Tapi aku yakin, suatu hari nanti ketika pohon-pohon itu mulai berbuah, kebun kecil ini akan menjadi tempat belajar yang menarik bukan hanya tentang tanaman, tapi juga tentang kearifan lokal dan kekayaan hayati hutan Kalimantan.

Buah Kenyem mungkin tidak populer seperti durian atau rambutan, tapi bagiku, buah ini adalah simbol dari keindahan yang sederhana kekayaan alam yang tumbuh diam-diam di tepian sungai, memberi warna dan rasa tersendiri bagi siapa pun yang sempat mencicipinya. 

Sampai jumpa di cerita berikutnya, Sobat Guru Pedalaman!
Semoga kisah tentang buah-buahan Borneo ini bisa menambah rasa kagum kita terhadap alam Indonesia yang luar biasa kaya.

Dari Guru Jadi Teknisi Parabola: Cerita di Pedalaman Kalimantan

Halo Sobat Guru Pedalaman,
Apa kabarnya hari ini? Semoga selalu sehat dan semangat berbagi inspirasi dari pelosok negeri ya!

Menjadi guru di pedalaman memang membuatku kaya akan pengalaman baru. Seperti yang pernah kuceritakan di tulisan sebelumnya, hidup dan bertugas jauh dari kota membuat kita harus serba bisa. Banyak hal yang tidak pernah diajarkan di bangku kuliah, justru kutemukan dari pengalaman hidup sehari-hari di pedalaman Kalimantan ini.

Guru harus serba bisa

Salah satu pengalaman yang cukup berkesan adalah belajar menyeting atau memasang parabola.

Ketika awal penempatan dulu, daerah ini masih tergolong blankspot. Akses internet belum semudah sekarang, dan siaran TV pun sulit dijangkau. Jadi, bagi warga yang ingin menikmati tayangan televisi, parabola menjadi satu-satunya solusi.

Namun, memasang parabola ternyata tidak semudah kelihatannya.
Ada kalanya, arah satelit bisa ditemukan dalam beberapa menit saja, tapi tak jarang juga butuh waktu berjam-jam bahkan sampai menyerah karena sinyal tak kunjung muncul.

Awalnya, aku sendiri sama sekali tidak punya pengalaman soal ini. Di tempat asalku, akses televisi sudah cukup mudah tanpa perlu parabola. Tapi di sinilah aku belajar banyak hal baru. Beberapa teman sepenempatan rupanya cukup terampil dalam urusan ini. Mereka sering dipanggil warga untuk membantu menyeting parabola — dan dari merekalah aku mulai belajar sedikit demi sedikit.

Sekarang, setelah lebih dari sepuluh tahun berlalu, banyak hal telah berubah.
Kehadiran Starlink membuat akses internet di pedalaman jauh lebih mudah. Parabola yang dulu menjadi “jembatan hiburan” kini mulai jarang digunakan. Warga pun lebih sering menonton tayangan langsung dari ponsel, praktis dan tanpa repot menyeting sinyal.

Tapi bagiku, pengalaman pertama kali memegang kunci pas dan mengarahkan dish parabola ke langit tetap punya kesan tersendiri.
Itulah indahnya hidup di pedalaman  selalu ada hal baru untuk dipelajari, bahkan dari hal-hal yang tampak sederhana.

Sampai jumpa di cerita pedalaman berikutnya, Sobat!
Tetap semangat mengajar, berbagi, dan belajar dari setiap pengalaman yang datang.