Praktik Membuat Pel di Sekolah Pedalaman: Belajar Nilai dari Tugas Sederhana

Halo Sobat Guru Pedalaman,
Apa kabarnya hari ini? Semoga selalu sehat dan penuh semangat. Kali ini aku ingin berbagi cerita ringan tentang sebuah aktivitas sehari-hari yang mungkin dulu terasa biasa, tapi sekarang menjadi sesuatu yang unik—yaitu praktik membuat pel di sekolah.
Membuat Pel dari bahan sekitar
Beberapa waktu lalu, aku menemani anakku yang kini duduk di kelas 5 SD untuk membuat sebuah pel. Bagi sebagian orang, terutama yang pernah sekolah di era 90-an, tugas semacam ini mungkin terasa akrab. Namun, di sekolah-sekolah perkotaan masa kini, praktik membuat pel seperti ini sudah jarang ditemui. Menariknya, di pedesaan khususnya di pedalaman tempatku bertugas aktivitas seperti ini masih bisa dijumpai.

Lebih dari Sekadar Membuat Alat Pel
Aku tidak ingin membahas praktik ini dari segi pro dan kontra terkait dana BOS ataupun kelayakan sarana prasarana. Justru aku ingin melihatnya dari sudut pandang lain. Menurutku, praktik sederhana seperti ini tidaklah salah. Bahkan, ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh siswa ketika mereka diberi tugas untuk membuat pel atau alat sederhana lainnya:

  1. Melatih kreativitas dan keterampilan tangan
    Anak-anak belajar bagaimana menyusun bahan, memotong, merakit, dan membuat sesuatu yang bisa digunakan. Ini adalah bentuk pembelajaran kontekstual yang langsung melatih keterampilan praktis mereka.

  2. Menumbuhkan rasa tanggung jawab
    Saat mereka menyelesaikan tugas, ada rasa tanggung jawab terhadap apa yang sudah dibuat. Mereka belajar bahwa pekerjaan yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

  3. Memberi pengalaman nyata
    Tidak semua pelajaran bisa hanya berhenti di buku tulis. Dengan praktik semacam ini, siswa mendapatkan pengalaman langsung yang akan mereka ingat lebih lama dibanding sekadar teori.

  4. Menumbuhkan rasa bernilai
    Ketika hasil karya mereka benar-benar dipakai di sekolah, anak-anak akan merasa bangga karena karyanya memberikan manfaat nyata. Itu membuat mereka merasa dirinya berharga dan kontribusinya penting.

Peran Sekolah dalam Mengarahkan
Meski begitu, sekolah tetap memiliki peran penting untuk memberikan arahan. Praktik ini sebaiknya bukan sekadar “menyuruh siswa membuat sesuatu”, tetapi bagian dari proses pembelajaran. Guru perlu memastikan bahwa siswa benar-benar terlibat dalam setiap tahap, mulai dari merancang, membuat, hingga menguji hasil karyanya. Dengan begitu, nilai pendidikan dari praktik ini bisa tercapai, bukan sekadar menghasilkan barang jadi.

Penutup
Dari sebuah tugas sederhana membuat pel, kita bisa melihat bahwa pendidikan tidak selalu harus mewah atau rumit. Justru dalam aktivitas kecil sehari-hari, ada banyak nilai kehidupan yang bisa dipelajari anak-anak. Semoga pengalaman kecil ini bisa mengingatkan kita bahwa belajar bisa hadir dalam bentuk apa saja, selama kita mampu memaknainya dengan bijak.

Sampai jumpa di cerita selanjutnya, Sobat Guru Pedalaman. Tetap semangat belajar, mengajar, dan mendidik dengan hati 🌿.


Dihubungi Sales Lewat Blog: Bukti Kecil Dampak Digital dari Pedalaman Katingan

Halo Sobat Guru Pedalaman,
Apa kabarnya hari ini? Semoga selalu sehat dan penuh semangat ya. Kali ini aku ingin berbagi sebuah pengalaman unik yang baru saja aku alami, yang berawal dari sebuah telepon misterius pada Rabu malam lalu.

Akses Jalan Ke Kecamatan Petak Malai

Awalnya, aku cukup ragu ketika nomor tak dikenal berdering di layar WA-ku. Seperti biasa, pikiran pertama yang muncul adalah khawatir kalau itu hanya modus penipuan. Karena berulang kali berdering, akhirnya aku putuskan untuk mengangkat, tentu dengan sedikit berhati-hati. Aku menahan suaraku sejenak untuk memastikan arah pembicaraan, lalu menjawab dengan singkat.

Ternyata, si penelpon adalah seorang sales keliling yang berencana menawarkan produknya ke daerah sekitar Kecamatan Petak Malai, Katingan. Karena belum pernah ke sini dan tidak mengenal kondisi wilayah, ia berusaha mencari sumber informasi. Katanya, ia sempat mencoba menghubungi kepala desa dan perangkat desa, tapi gagal karena sinyal di wilayah kami memang terbatas dan sebagian besar hanya mengandalkan Starlink.

Akhirnya, setelah mencoba mencari lewat internet, ia menemukan kontakku di blog tepatnya di bagian Taman Baca Baraoi yang memang aku cantumkan untuk informasi dan komunikasi. Dari situlah percakapan kami mengalir cukup panjang. Aku mencoba memberikan informasi sebaik mungkin yang aku ketahui: jenis kendaraan yang masih memungkinkan masuk, kondisi jalan logging yang jadi jalur utama, hingga aturan-aturan khusus yang harus diperhatikan jika melewati jalan perusahaan kayu.

🌱 Refleksi kecil dari pengalaman ini
Aku jadi menyadari, ternyata blog sederhana yang awalnya hanya kutujukan untuk berbagi cerita dan dokumentasi, bisa benar-benar menjadi jembatan informasi bagi orang yang membutuhkan. Di wilayah pedalaman dengan akses terbatas, kehadiran informasi di internet bisa sangat berarti.

📌 Kiat Aman Saat Mendapat Telepon Asing
Dari pengalaman ini, aku juga ingin berbagi sedikit tips yang mungkin berguna:

  1. Jangan langsung percaya – Tahan dulu untuk tidak membocorkan data pribadi seperti alamat, rekening, atau kode OTP.

  2. Dengarkan dulu maksudnya – Biarkan penelpon menjelaskan siapa dirinya dan apa tujuannya.

  3. Verifikasi seperlunya – Kalau masih ragu, bisa cek kebenarannya lewat sumber lain atau tunda dulu merespons.

  4. Gunakan bahasa yang wajar – Sampaikan jawaban dengan sopan tapi tetap hati-hati.

🌍 Harapan
Semoga perjalanan bapak sales keliling itu diberi kelancaran dan keselamatan. Aku bisa membayangkan betapa beratnya perjalanan menuju desa-desa di Petak Malai, dengan jalan logging yang panjang dan kondisi yang tak selalu bersahabat. Semoga ia bisa sampai dengan selamat dan membawa manfaat melalui pekerjaannya.

Penutup
Dari kejadian sederhana ini aku semakin yakin, bahwa menulis di blog bukan hanya untuk diri sendiri, tapi bisa berdampak nyata pada orang lain. Siapa sangka, tulisan-tulisan di blog bisa menuntun seseorang yang benar-benar membutuhkan arah.

Sampai jumpa di cerita berikutnya, Sobat!
Tetap semangat berbagi kebaikan, dari pedalaman untuk kita semua 🌿.

Sehat Itu Anugerah: Cerita dari Pedalaman Kalimantan

Halo Sobat Guru Pedalaman,
Apa kabarnya hari ini? Semoga selalu sehat dan penuh semangat ya. Mohon maaf, baru kali ini aku bisa kembali menulis di blog setelah beberapa hari istirahat karena sakit. Rasanya ada yang kurang kalau tidak bisa menyapa Sobat semua di sini.

Kisah Guru Pedalaman Kalimantan

Salah satu tantangan terbesar ketika kita bertugas di pedalaman, termasuk di Kalimantan ini, adalah soal sakit. Memang di mana pun kita berada sakit bisa datang, tetapi yang membedakannya adalah akses dan fasilitas kesehatan. Di pedalaman, semua terasa terbatas. Maka wajar kalau kekhawatiran akan sakit itu lebih besar.

Syukurnya, berkat kehati-hatian dan mungkin juga karena dorongan kuat untuk tetap bertahan, aku terbilang jarang sakit yang sampai harus ke fasilitas kesehatan. Namun tetap saja, dalam kurun waktu kurang lebih 11 tahun bertugas, aku setidaknya dua kali mengalami sakit parah.

Pengalaman pertama terjadi sekitar setahun setelah aku bertugas di sini. Hari itu hari Senin, aku memutuskan pulang lebih awal karena badan terasa sangat tidak enak. Ternyata kondisi makin memburuk: demam tinggi, air liur terasa sangat pahit, kadang kedinginan meski suhu badan panas, dan setiap kali mencoba duduk kepala langsung berputar hebat. Selama tiga hari penuh aku hanya bisa terbaring lemas di rumah kontrakan sederhana.

Pada hari keempat, dengan tubuh sempoyongan, aku akhirnya memaksakan diri ke Puskesmas satu-satunya faskes terdekat. Sayangnya saat itu tidak ada dokter, hanya seorang perawat yang memeriksa. Setelah pemeriksaan sederhana, aku tidak mendapat jawaban pasti, hanya dugaan sementara antara  tipes atau malaria.

  • Tipes biasanya ditandai dengan demam yang naik turun, rasa lemas berkepanjangan, sakit perut, serta gangguan pencernaan. Penyebabnya adalah bakteri Salmonella typhi.

  • Malaria berbeda, umumnya ditandai dengan demam yang datang periodik, menggigil, berkeringat, sakit kepala hebat, dan disebabkan oleh parasit Plasmodium yang ditularkan lewat gigitan nyamuk Anopheles.

Meski begitu, obat sederhana dari Puskesmas dan beberapa hari istirahat akhirnya membuatku pulih kembali.

Pengalaman kedua terjadi sekitar tahun 2024 lalu, dengan gejala hampir sama namun kali ini lebih parah. Selain demam, aku juga terkena maag akut yang disertai muntah-muntah. Wajar saja, karena saat itu aku tinggal sendiri dan selama hampir tiga hari hanya minum tanpa makan apa-apa. Ironisnya, setelah sempat berobat, bukannya istirahat, aku malah harus berangkat ke Palangkaraya mengikuti kegiatan dinas yang katanya tidak bisa diwakilkan.

Beberapa hari yang lalu, gejala yang mirip sempat muncul lagi. Syukur alhamdulillah kali ini tidak berkembang lebih buruk. Cukup dengan istirahat total sekitar 24 jam, tubuhku berangsur pulih. Walaupun masih terasa lemas jika duduk atau berdiri terlalu lama, setidaknya aku sudah bisa kembali beraktivitas normal.

Dari semua pengalaman itu, aku semakin sadar bahwa sehat adalah anugerah besar yang sering kita lupakan. Tanpa sehat, semua aktivitas jadi terasa berat.

Terima kasih Sobat sudah setia membaca tulisanku. Semoga Sobat semua selalu diberi kesehatan oleh Allah, karena sehat adalah salah satu nikmat paling berharga yang patut selalu kita syukuri.

Salam hangat,
Guru Pedalaman 🌿

Rumah Misterius di Pedalaman: Kisah Awal Tugas Sebagai Guru

Halo Sobat Guru Pedalaman,
Apa kabarnya hari ini? Semoga selalu sehat dan penuh semangat ya. Kali ini aku ingin berbagi kembali pengalaman awal ketika pertama kali menginjakkan kaki di pedalaman Katingan, Kalimantan Tengah, tepatnya di tahun 2014. Cerita ini cukup berkesan karena bukan hanya soal mengajar, tetapi juga tentang perjuangan mencari tempat tinggal di desa yang serba terbatas.

Kisah Guru Di Pedalaman Kalimantan

Awal Kebingungan Mencari Tempat Tinggal

Ketika itu saya dan lima rekan guru lainnya resmi ditugaskan di sebuah sekolah menengah di desa ini. Namun, masalah pertama langsung menghadang: tidak ada penginapan untuk kami. Bisa dibayangkan betapa bingungnya kami, karena harus segera menentukan di mana akan tinggal sementara tugas sudah menanti.

Salah satu rekan kami cukup beruntung karena mendapatkan kesempatan menempati eks perumahan SD. Meski kondisinya jauh dari kata layak, setelah beberapa perbaikan kecil, setidaknya bangunan itu bisa digunakan sebagai tempat bernaung sementara. Tapi, bagaimana dengan kami yang tersisa?

Opsi yang Serba Sulit

Sebenarnya ada satu alternatif: mes desa. Sayangnya, lokasinya cukup jauh dari sekolah. Kalau ditempuh dengan berjalan kaki setiap hari, tentu sangat merepotkan. Kondisinya pun memprihatinkan  jendela-jendela banyak yang rusak, dindingnya bolong, dan jauh dari nyaman. Terlebih lagi, sebagian dari kami adalah guru perempuan. Tentu saja tidak mungkin tinggal di tempat tanpa sekat dan keamanan yang memadai.

Akhirnya, muncul sebuah jalan tengah. Rekan-rekan perempuan dipersilakan menempati salah satu kamar di rumah jabatan Camat setempat. Walaupun sifatnya hanya sementara, setidaknya lebih aman dan tenang. Tinggallah kami bertiga, para guru laki-laki, yang masih harus mencari tempat tinggal.

Kabar Baik yang Tak Terduga

Di tengah kebingungan itu, keberuntungan rupanya datang menghampiri. Seorang pegawai puskesmas memberi tahu bahwa ia sebelumnya sudah menyewa sebuah rumah di desa, tetapi akhirnya batal menempatinya. Dengan baik hati ia bersedia memindahkan perjanjian sewanya kepada kami.

Mendengar kabar itu rasanya seperti mendapat angin segar. Akhirnya kami punya tempat tinggal dengan dua kamar yang bisa kami bagi bersama. Rumahnya lumayan besar, meski ada cerita-cerita aneh dari warga tentang mengapa rumah itu jarang sekali ditempati. Bahkan, katanya penyewa sebelumnya hanya bertahan satu-dua hari saja sebelum pindah dan menumpang di tempat lain.

Namun, cerita lengkap tentang rumah ini akan saya simpan untuk kesempatan lain, karena sedang saya tuangkan lebih detail dalam sebuah proyek antologi.

Rumah Pertama, Saksi Bisu Perjuangan

Singkat cerita, rumah ini menjadi tempat tinggal saya selama kurang lebih 1,5 tahun. Dari sinilah perjalanan awal saya di pedalaman Katingan dimulai, sekaligus menjadi saksi bisu perjuangan saya dan rekan-rekan menjalani tugas sebagai guru.

Banyak pengalaman berharga saya lalui di rumah ini. Salah satunya adalah ketika saya mulai merintis taman baca sederhana. Meski dengan fasilitas terbatas dan koleksi buku seadanya, taman baca ini pelan-pelan memberi warna baru. Tidak hanya anak-anak dari desa tempat saya tinggal yang merasakan manfaatnya, tapi juga anak-anak dari dusun-dusun sekitar.

Cerita tentang Taman Baca Baraoi ini juga bisa sobat temukan di blog khusus yang saya kelola. Namun, suatu saat nanti, saya ingin juga menuliskan versi personal saya tentang suka duka menghidupkan taman baca ini di tengah segala keterbatasan.

Setiap perjalanan hidup punya titik awal yang unik. Bagi saya, rumah pertama di pedalaman inilah yang menjadi saksi banyak kisah: dari kebingungan mencari tempat tinggal, menemukan solusi yang tak terduga, hingga lahirnya sebuah taman baca sederhana yang masih berdiri hingga kini.

Mungkin, kalau saja waktu itu kami tidak bertemu rumah ini, perjalanan saya di pedalaman akan berbeda. Tapi begitulah hidup, selalu ada cara untuk memberi kita tempat bernaung, meski sederhana, asal dijalani dengan hati yang tulus.

Sampai jumpa di cerita berikutnya, Sobat Guru Pedalaman.
Semoga kisah ini bisa memberi sedikit gambaran tentang bagaimana perjuangan di pedalaman dimulai, dan siapa tahu bisa menjadi inspirasi juga bagi yang membaca.