Rumah Misterius di Pedalaman: Kisah Awal Tugas Sebagai Guru

Halo Sobat Guru Pedalaman,
Apa kabarnya hari ini? Semoga selalu sehat dan penuh semangat ya. Kali ini aku ingin berbagi kembali pengalaman awal ketika pertama kali menginjakkan kaki di pedalaman Katingan, Kalimantan Tengah, tepatnya di tahun 2014. Cerita ini cukup berkesan karena bukan hanya soal mengajar, tetapi juga tentang perjuangan mencari tempat tinggal di desa yang serba terbatas.

Kisah Guru Di Pedalaman Kalimantan

Awal Kebingungan Mencari Tempat Tinggal

Ketika itu saya dan lima rekan guru lainnya resmi ditugaskan di sebuah sekolah menengah di desa ini. Namun, masalah pertama langsung menghadang: tidak ada penginapan untuk kami. Bisa dibayangkan betapa bingungnya kami, karena harus segera menentukan di mana akan tinggal sementara tugas sudah menanti.

Salah satu rekan kami cukup beruntung karena mendapatkan kesempatan menempati eks perumahan SD. Meski kondisinya jauh dari kata layak, setelah beberapa perbaikan kecil, setidaknya bangunan itu bisa digunakan sebagai tempat bernaung sementara. Tapi, bagaimana dengan kami yang tersisa?

Opsi yang Serba Sulit

Sebenarnya ada satu alternatif: mes desa. Sayangnya, lokasinya cukup jauh dari sekolah. Kalau ditempuh dengan berjalan kaki setiap hari, tentu sangat merepotkan. Kondisinya pun memprihatinkan  jendela-jendela banyak yang rusak, dindingnya bolong, dan jauh dari nyaman. Terlebih lagi, sebagian dari kami adalah guru perempuan. Tentu saja tidak mungkin tinggal di tempat tanpa sekat dan keamanan yang memadai.

Akhirnya, muncul sebuah jalan tengah. Rekan-rekan perempuan dipersilakan menempati salah satu kamar di rumah jabatan Camat setempat. Walaupun sifatnya hanya sementara, setidaknya lebih aman dan tenang. Tinggallah kami bertiga, para guru laki-laki, yang masih harus mencari tempat tinggal.

Kabar Baik yang Tak Terduga

Di tengah kebingungan itu, keberuntungan rupanya datang menghampiri. Seorang pegawai puskesmas memberi tahu bahwa ia sebelumnya sudah menyewa sebuah rumah di desa, tetapi akhirnya batal menempatinya. Dengan baik hati ia bersedia memindahkan perjanjian sewanya kepada kami.

Mendengar kabar itu rasanya seperti mendapat angin segar. Akhirnya kami punya tempat tinggal dengan dua kamar yang bisa kami bagi bersama. Rumahnya lumayan besar, meski ada cerita-cerita aneh dari warga tentang mengapa rumah itu jarang sekali ditempati. Bahkan, katanya penyewa sebelumnya hanya bertahan satu-dua hari saja sebelum pindah dan menumpang di tempat lain.

Namun, cerita lengkap tentang rumah ini akan saya simpan untuk kesempatan lain, karena sedang saya tuangkan lebih detail dalam sebuah proyek antologi.

Rumah Pertama, Saksi Bisu Perjuangan

Singkat cerita, rumah ini menjadi tempat tinggal saya selama kurang lebih 1,5 tahun. Dari sinilah perjalanan awal saya di pedalaman Katingan dimulai, sekaligus menjadi saksi bisu perjuangan saya dan rekan-rekan menjalani tugas sebagai guru.

Banyak pengalaman berharga saya lalui di rumah ini. Salah satunya adalah ketika saya mulai merintis taman baca sederhana. Meski dengan fasilitas terbatas dan koleksi buku seadanya, taman baca ini pelan-pelan memberi warna baru. Tidak hanya anak-anak dari desa tempat saya tinggal yang merasakan manfaatnya, tapi juga anak-anak dari dusun-dusun sekitar.

Cerita tentang Taman Baca Baraoi ini juga bisa sobat temukan di blog khusus yang saya kelola. Namun, suatu saat nanti, saya ingin juga menuliskan versi personal saya tentang suka duka menghidupkan taman baca ini di tengah segala keterbatasan.

Setiap perjalanan hidup punya titik awal yang unik. Bagi saya, rumah pertama di pedalaman inilah yang menjadi saksi banyak kisah: dari kebingungan mencari tempat tinggal, menemukan solusi yang tak terduga, hingga lahirnya sebuah taman baca sederhana yang masih berdiri hingga kini.

Mungkin, kalau saja waktu itu kami tidak bertemu rumah ini, perjalanan saya di pedalaman akan berbeda. Tapi begitulah hidup, selalu ada cara untuk memberi kita tempat bernaung, meski sederhana, asal dijalani dengan hati yang tulus.

Sampai jumpa di cerita berikutnya, Sobat Guru Pedalaman.
Semoga kisah ini bisa memberi sedikit gambaran tentang bagaimana perjuangan di pedalaman dimulai, dan siapa tahu bisa menjadi inspirasi juga bagi yang membaca.

Fakta Menarik Serangga Lentera: Si Cantik dari Hutan Tropis

Halo Sobat Guru Pedalaman,
Apa kabarnya hari ini? Semoga selalu sehat dan penuh semangat ya. Kali ini aku ingin berbagi lagi pengalaman unik selama bertugas di pedalaman Katingan, Kalimantan Tengah. Seperti biasa, selain mengajar dan beraktivitas bersama warga, aku juga sering bertemu dengan berbagai hewan dan serangga yang jarang sekali ditemui di kota.

Serangga lentera

Nah, salah satunya adalah serangga dengan bentuk kepala yang sangat unik. Karena bentuk kepalanya memanjang dan mirip lentera, aku dulu menamainya serangga lentera. Setelah mencari-cari referensi, ternyata namanya memang tak jauh berbeda, yaitu Pyrops intricatus, salah satu anggota keluarga Fulgoridae.

Fakta Menarik tentang Serangga Lentera

Meskipun disebut serangga lentera, jangan bayangkan serangga ini bisa bercahaya seperti kunang-kunang ya. Sebenarnya, nama "lantern bug" atau "serangga lentera" lebih karena bentuk kepalanya yang memanjang seperti lampion kecil, bukan karena ia memancarkan cahaya.

Beberapa fakta menarik tentang serangga ini antara lain:

  • Habitat alami: Serangga lentera umumnya ditemukan di hutan tropis Asia Tenggara, termasuk Kalimantan.

  • Pola warna indah: Tubuhnya berwarna cerah dengan corak bintik-bintik yang khas. Pola warna ini berfungsi sebagai kamuflase sekaligus peringatan bagi predator.

  • Penghisap getah: Serangga ini hidup dengan cara mengisap getah dari batang pohon. Jadi kalau kalian menemukan mereka menempel di batang, biasanya sedang "makan siang".

  • Jarang terlihat: Walaupun bukan hewan langka, keberadaannya tidak mudah ditemukan karena cenderung tenang dan berdiam di pepohonan.

Perjumpaanku dengan Serangga Lentera

Selama bertugas di pedalaman, aku baru dua kali bertemu langsung dengan serangga unik ini. Pertemuan pertama masih samar-samar dalam ingatan, tapi pertemuan kedua inilah yang berhasil aku abadikan dalam foto yang kalian lihat di artikel ini.

Waktu itu aku sedang berangkat memancing sambil membawa ponsel. Niat awalnya, aku ingin merekam beberapa aktivitas memancing untuk diunggah ke YouTube dan TikTok. Eh, ternyata malah berjumpa lagi dengan serangga lentera yang menempel tenang di batang pohon. Rasanya senang sekali bisa mengabadikan momen langka itu.

Itulah sedikit cerita tentang pertemuanku dengan serangga lentera di pedalaman Kalimantan. Hal-hal kecil seperti ini selalu membuatku merasa kagum sekaligus bersyukur, karena alam di sini masih menyimpan begitu banyak misteri dan keindahan.

Sampai jumpa di cerita selanjutnya, Sobat Guru Pedalaman. Semoga pengalaman kecil ini bisa menambah rasa cinta kita pada alam dan membuat hari kalian sedikit lebih hangat. 🌿✨

Keindahan Bulbophyllum refractilingue, Anggrek Khas Borneo

www.mjumani.net - Salah satu aktivitas yang sering aku lakukan di pedalaman Kalimantan Tengah adalah berjalan ke hutan atau mendaki bukit-bukit di sekitar tempat tugasku. Dari awal kedatanganku, aku memang sudah tertarik untuk mengeksplorasi keberagaman anggrek alam yang ada di sini. Tidak sedikit jenis anggrek yang pernah kutemui. Bahkan, di tahun-tahun awal aku sempat mencatat ada sekitar 20–23 jenis berbeda yang berhasil kudata. Sayangnya, semua catatan itu hilang karena laptop dan hardisk tempat penyimpanan rusak.

Anggrek Borneo
Anggrek Kalimantan Bulbophyllum refractilingue

Seandainya waktu itu jaringan internet di sini sudah sebaik sekarang, mungkin data itu tidak akan sepenuhnya hilang. Sebab biasanya setiap kali menemukan hal-hal baru, termasuk jenis anggrek, aku suka membagikannya di media sosial sebagai dokumentasi sederhana.

Meski aku pecinta anggrek, aku tidak bisa disebut kolektor maniak. Bagiku, anggrek-anggrek ini lebih indah bila tetap tumbuh di habitat aslinya, asalkan tidak ada gangguan serius. Aku hanya ingin menyaksikan langsung keindahannya, dan kalau sempat, mengabadikannya lewat kamera.

kuncup bunga Bulbophyllum refractilingue

Namun ada kalanya aku tetap membawa pulang beberapa spesies, terutama bila aku tahu mereka tidak akan selamat jika dibiarkan begitu saja di habitat asalnya. Salah satunya adalah anggrek yang dulu menempel di batang pohon durian tua. Pohon itu mati tersambar petir, lalu ditebang untuk dijadikan papan dan balok. Kalau dibiarkan, tentu anggrek itu akan ikut musnah. Maka aku coba menyelamatkannya dan menanamnya di sekitar rumah dan lingkungan sekolah tempatku bertugas.

Anggrek Bulbophyllum refractilingue

Syukurlah, sampai sekarang masih ada beberapa yang bertahan. Bahkan salah satunya baru saja berbunga beberapa hari lalu — Bulbophyllum refractilingue J.J.Sm.

Bulbophyllum refractilingue: Anggrek Khas dari Borneo

Bulbophyllum refractilingue termasuk dalam seksi Beccariana dari genus Bulbophyllum. Spesies ini tercatat hidup di Pulau Kalimantan (Borneo), biasanya tumbuh pada kisaran ketinggian 100–400 meter di atas permukaan laut. Meski belum ada catatan resmi bahwa ia endemik eksklusif di satu wilayah kecil, keberadaannya tetap sangat bergantung pada habitat hutan alami Borneo.

Bunganya memiliki perpaduan unik, dengan pola titik-titik ungu yang indah dan bentuk khas yang membuat mata terasa segar saat memandangnya. Dalam kondisi baik, bunga ini bisa bertahan mekar selama beberapa hari hingga sekitar seminggu.

Kini, anggrek itu tumbuh menempel di pohon belakang pondok, tepat di dekat rumah dinasku. Ada rasa bahagia tersendiri melihatnya kembali berbunga, seolah menjadi pengingat kecil bahwa upaya sederhana pun bisa memberi ruang hidup bagi sesuatu yang indah.

Melihat kembali semua petualangan di hutan dan bukit sekitar pedalaman, aku makin yakin bahwa kekayaan alam seperti anggrek liar bukan hanya untuk dinikmati, tapi juga untuk dijaga. Setiap spesies yang muncul, setiap bunga yang mekar, adalah keajaiban kecil yang patut kita syukuri.

Kehilangan catatan lama memang menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya dokumentasi dan berbagi. Tapi di sisi lain, kehilangan itu juga membuatku belajar lebih menikmati momen langsung: melihat bentuk, warna, dan suasana alam di sekitar anggrek itu tumbuh.

Dan kini, dengan hadirnya Bulbophyllum refractilingue di halaman kecil tempat tinggalku, aku merasa diberi kesempatan untuk terus menyaksikan betapa luar biasanya detail-detail kecil yang ditawarkan alam. Semoga ke depan, keindahan anggrek-anggrek Kalimantan ini tetap lestari, bisa terus tumbuh, mekar, dan dinikmati oleh generasi setelah kita.

Rambusa: Buah Liar Kecil yang Penuh Rasa Nostalgia

www.mjumani.net - Kalau mendengar nama rambusa atau di Banjar sering juga disebut buah cemot rasanya langsung teringat pada masa kecil. Buah mungil berwarna oranye cerah ini memang kerap menjadi teman bermain anak-anak kampung, dipetik begitu saja di semak-semak atau pinggir kebun. Rasanya manis segar, walau kecil tapi selalu bikin penasaran untuk dipetik satu demi satu.

Buah liar

Tanaman rambusa sebenarnya tumbuh liar. Ia merambat dengan daun berbentuk jari, dan bunganya indah berwarna putih keunguan, mirip bunga markisa dalam ukuran mini. Meskipun kerap dianggap tanaman liar, ada banyak hal menarik dari rambusa. Buahnya mengandung vitamin dan antioksidan alami yang baik untuk tubuh. Dalam pengobatan tradisional, rambusa bahkan dipercaya bisa membantu menenangkan pikiran. Tapi yang paling penting, rambusa punya nilai lebih: ia adalah buah nostalgia.

Rambusa di Kebun Pedalaman

Kini, ketika aku bertugas di pedalaman Kalimantan, aku kembali sering bertemu dengan rambusa. Di sana aku punya kebun kecil agak jauh dari rumah, berisi berbagai tanaman buah lokal yang sebagian sudah jarang ditemui. Karena kesibukan, kebun itu tidak selalu terurus. Setiap beberapa bulan, rumput liar tumbuh subur, dan di antaranya, rambusa ikut bermunculan.

Manfaat buah rambusa

Sebelum aku membersihkan kebun, biasanya aku memanen dulu rambusa yang sudah ranum. Sebab kalau langsung ditebas, tanaman kecil ini ikut hilang. Untungnya, rambusa tidak mudah menyerah beberapa waktu kemudian ia akan tumbuh lagi, seakan tak pernah bosan berbagi buah mungilnya.

Manisnya Nostalgia

Setiap kali memetik rambusa, aku selalu merasa seperti kembali ke masa kecil. Dulu, bersama teman-teman, kami berlari ke kebun atau pinggir hutan, mencari buah ini sambil bercanda. Ada kesederhanaan yang tak tergantikan dari momen itu—sebuah kebahagiaan kecil yang justru terasa sangat berharga.

Kini, di sela kesibukan mengajar dan beraktivitas di pedalaman, rambusa seolah mengingatkanku untuk kembali menikmati hal-hal sederhana. Buah mungil ini bukan sekadar cemilan manis, melainkan juga jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan hari ini.