Ketika itu saya dan lima rekan guru lainnya resmi ditugaskan di sebuah sekolah menengah di desa ini. Namun, masalah pertama langsung menghadang: tidak ada penginapan untuk kami. Bisa dibayangkan betapa bingungnya kami, karena harus segera menentukan di mana akan tinggal sementara tugas sudah menanti.
Salah satu rekan kami cukup beruntung karena mendapatkan kesempatan menempati eks perumahan SD. Meski kondisinya jauh dari kata layak, setelah beberapa perbaikan kecil, setidaknya bangunan itu bisa digunakan sebagai tempat bernaung sementara. Tapi, bagaimana dengan kami yang tersisa?
Opsi yang Serba Sulit
Sebenarnya ada satu alternatif: mes desa. Sayangnya, lokasinya cukup jauh dari sekolah. Kalau ditempuh dengan berjalan kaki setiap hari, tentu sangat merepotkan. Kondisinya pun memprihatinkan jendela-jendela banyak yang rusak, dindingnya bolong, dan jauh dari nyaman. Terlebih lagi, sebagian dari kami adalah guru perempuan. Tentu saja tidak mungkin tinggal di tempat tanpa sekat dan keamanan yang memadai.
Akhirnya, muncul sebuah jalan tengah. Rekan-rekan perempuan dipersilakan menempati salah satu kamar di rumah jabatan Camat setempat. Walaupun sifatnya hanya sementara, setidaknya lebih aman dan tenang. Tinggallah kami bertiga, para guru laki-laki, yang masih harus mencari tempat tinggal.
Kabar Baik yang Tak Terduga
Di tengah kebingungan itu, keberuntungan rupanya datang menghampiri. Seorang pegawai puskesmas memberi tahu bahwa ia sebelumnya sudah menyewa sebuah rumah di desa, tetapi akhirnya batal menempatinya. Dengan baik hati ia bersedia memindahkan perjanjian sewanya kepada kami.
Mendengar kabar itu rasanya seperti mendapat angin segar. Akhirnya kami punya tempat tinggal dengan dua kamar yang bisa kami bagi bersama. Rumahnya lumayan besar, meski ada cerita-cerita aneh dari warga tentang mengapa rumah itu jarang sekali ditempati. Bahkan, katanya penyewa sebelumnya hanya bertahan satu-dua hari saja sebelum pindah dan menumpang di tempat lain.
Namun, cerita lengkap tentang rumah ini akan saya simpan untuk kesempatan lain, karena sedang saya tuangkan lebih detail dalam sebuah proyek antologi.
Rumah Pertama, Saksi Bisu Perjuangan
Singkat cerita, rumah ini menjadi tempat tinggal saya selama kurang lebih 1,5 tahun. Dari sinilah perjalanan awal saya di pedalaman Katingan dimulai, sekaligus menjadi saksi bisu perjuangan saya dan rekan-rekan menjalani tugas sebagai guru.
Banyak pengalaman berharga saya lalui di rumah ini. Salah satunya adalah ketika saya mulai merintis taman baca sederhana. Meski dengan fasilitas terbatas dan koleksi buku seadanya, taman baca ini pelan-pelan memberi warna baru. Tidak hanya anak-anak dari desa tempat saya tinggal yang merasakan manfaatnya, tapi juga anak-anak dari dusun-dusun sekitar.
Cerita tentang Taman Baca Baraoi ini juga bisa sobat temukan di blog khusus yang saya kelola. Namun, suatu saat nanti, saya ingin juga menuliskan versi personal saya tentang suka duka menghidupkan taman baca ini di tengah segala keterbatasan.
Setiap perjalanan hidup punya titik awal yang unik. Bagi saya, rumah pertama di pedalaman inilah yang menjadi saksi banyak kisah: dari kebingungan mencari tempat tinggal, menemukan solusi yang tak terduga, hingga lahirnya sebuah taman baca sederhana yang masih berdiri hingga kini.
Mungkin, kalau saja waktu itu kami tidak bertemu rumah ini, perjalanan saya di pedalaman akan berbeda. Tapi begitulah hidup, selalu ada cara untuk memberi kita tempat bernaung, meski sederhana, asal dijalani dengan hati yang tulus.