Dari Pedalaman Kalimantan untuk Indonesia: Renungan Seorang Ayah dan Guru di HGN ke-80

Halo, sahabat guru pedalaman,
Terima kasih sudah tetap setia membaca tulisan-tulisanku di blog sederhana ini. Semoga kita semua selalu dalam keadaan sehat dan dalam limpahan rahmat Tuhan Yang Maha Esa.

Curhat Guru Pedalaman di Hari Guru Nasional 2025

Pada tulisan kali ini aku ingin berbagi sedikit refleksi pribadi tentang peringatan Hari Guru Nasional 2025 yang sekaligus menjadi momentum 80 tahun penghargaan terhadap profesi guru di Indonesia. Tahun ini, PGRI Kecamatan Petak Malai menunjuk SMAN 1 Petak Malai sekolah tempatku mengajar, sebagai tuan rumah kegiatan. Rencananya, kegiatan ini ingin mempertemukan semua jenjang pendidikan yang ada di kecamatan kami. Namun karena beberapa kendala, akhirnya perayaan hanya dihadiri oleh seluruh lembaga pendidikan di Desa Tumbang Baraoi, ibu kota Kecamatan Petak Malai.

Untuk cerita lengkap mengenai jalannya acara dan keseruannya, kamu bisa membaca tulisan lainku: Seru dan Penuh Kebersamaan: Peringatan HGN ke-80 di Kecamatan Petak Malai.
Namun di tulisan ini aku ingin fokus pada sesuatu yang lebih personal sebuah pandangan kecil sebagai guru yang mengabdi di pedalaman.

Refleksi 11 Tahun Mengajar di Pedalaman

Sebagai guru perantau yang sudah 11 tahun hidup dan bekerja di pedalaman Kalimantan, aku menyaksikan satu fenomena yang menarik dan cukup kompleks: banyak keluarga memilih menyekolahkan anak-anak mereka ke kota, meskipun sekolah pedalaman juga berusaha semampunya memberikan yang terbaik. Pertimbangan mereka tentu beragam, kualitas pendidikan yang belum merata, minimnya fasilitas, keterbatasan ekonomi, hingga soal akses yang sulit. Semua itu wajar dan manusiawi.

Namun yang membuatku justru merenung adalah kenyataan bahwa aku sendiri melakukan sebaliknya. Di saat sebagian besar masyarakat mengirimkan anak-anaknya ke kota, aku justru membawa kedua putriku dari kota ke pedalaman.

Bukan karena fasilitas di sini lebih baik, tentu tidak. Tetapi karena aku percaya bahwa fondasi pendidikan yang paling utama tidak hanya terletak pada sekolah, melainkan pada rumah dan ekosistem kecil yang mengelilingi anak.

Sekuat apa pun sistem pendidikan dibangun, secanggih apa pun fasilitas yang disediakan, jika dukungan keluarga dan masyarakat tidak hadir, pertumbuhan anak tidak akan pernah optimal.
Itulah mengapa aku meyakini bahwa peran orang tua, keluarga, dan lingkungan sekitar adalah support system paling dasar dalam proses belajar seorang anak.

Dua Putri Kecilku dan Arti Penting Sebuah Proses

Pada peringatan HGN tahun ini, aku merasa sangat bersyukur melihat kedua putriku ikut serta dalam kegiatan. Si bungsu yang mengikuti lomba mewarnai, dan si sulung yang ikut Lomba Cerdas Cermat. Mereka memberikan yang terbaik, dan aku tentu bangga.

Namun bagiku, yang lebih patut diapresiasi bukanlah piala atau sertifikatnya. Yang paling berharga adalah proses yang mereka jalani: keberanian mencoba, kegigihan berlatih, dan kemauan untuk terus tumbuh.

Sebagai guru dan sebagai orang tua, melihat hal itu saja rasanya sudah cukup menjadi hadiah Hari Guru Nasional tahun ini.

Menatap Harapan Baru untuk Pendidikan Pedalaman

Beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah melalui dinas pendidikan provinsi telah menyalurkan berbagai program digitalisasi pembelajaran mulai dari perangkat, jaringan Internet, listrik tenaga surya, hingga pelatihan-pelatihan. Setidaknya, kini kesenjangan antara sekolah di kota dan pedalaman tidak lagi sejauh dulu.

Aku berharap perkembangan ini bisa mengubah cara pandang masyarakat bahwa sekolah di pedalaman bukanlah pilihan kedua. Bahwa anak-anak bisa tetap belajar dengan baik di dekat rumah, di tengah komunitas yang mencintai mereka.

Jika dukungan keluarga, sekolah, dan masyarakat berjalan seiring, aku percaya pendidikan di pedalaman akan terus melangkah maju.

Terima kasih sudah membaca refleksi kecilku kali ini.
Semoga di momentum HGN ke-80 ini kita semua para guru, orang tua, dan masyarakat semakin dikuatkan untuk mendampingi anak-anak membangun masa depan mereka.

Sampai jumpa di tulisan berikutnya, sahabat pedagog pedalaman. Semoga selalu diberkahi dan tetap semangat menginspirasi!

Kisah Guru Pedalaman : Pohon Tumbang Menimpa Rumah

www.mjumani.net - Halo Sobat Guru Pedalaman, kembali lagi dengan kisah keseharian ku selama bertugas di pedalaman Kalimantan. Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan selalu dalam limpahan rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa. Kamis petang itu, seperti biasa, aku pulang menjelang magrib setelah bermain sepak bola di lapangan Buluh Merindu, Kecamatan Petak Malai. Badan penuh debu dan keringat, aku segera bergegas menuju kamar mandi. Di luar, langit tampak muram awan hitam bergulung, angin bertiup kencang, dan aroma tanah basah mulai terasa. Tanda-tanda hujan lebat sudah di depan mata.

Kisah Guru Pedalaman

Belum lama aku berada di kamar mandi, tiba-tiba terdengar suara menggelegar begitu keras, nyaring, dan memekakkan telinga. Suara itu membuat jantung seisi rumah berdebar kencang, bahkan para guru di rumah sebelah pun keluar untuk memastikan apa yang terjadi. Sekilas, kami semua mengira itu suara petir yang menyambar di sekitar perumahan.

Selesai mandi, aku langsung menuju kantor untuk mencabut beberapa stop kontak peralatan elektronik  sebuah kebiasaan kecil yang selalu kulakukan setiap kali hujan dan petir datang, demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Namun ada yang ganjil malam itu. Setelah beberapa saat, tak terdengar satu pun dentuman petir susulan, tak ada kilat yang menyambar, dan hujan pun turun hanya sebentar. Suasana sepi, tapi rasa penasaran makin besar.

Akhirnya aku mengambil senter dan melangkah ke belakang rumah. Di sanalah sumber suara itu terjawab. Sebatang pohon karet tua rupanya tumbang dan menimpa atap rumah, dari bagian dapur hingga ke puncak genteng. Syukurlah, batangnya tidak terlalu besar, dan pohon itu sudah kering. Kalau tidak, mungkin ceritanya akan jauh lebih menegangkan.

Karena malam sudah semakin larut dan hujan masih turun rintik-rintik, aku memutuskan untuk mengevakuasinya keesokan hari saja. Malam itu aku duduk sejenak di ruang tamu, masih mendengar suara angin di luar yang terus berdesir. Dalam hati, aku bersyukur—bukan hanya karena rumah masih aman, tapi juga karena kejadian kecil itu menjadi pengingat bahwa hidup di daerah pedalaman memang penuh dengan kejutan dan pelajaran.

Cuaca di Petak Malai sering kali sulit ditebak. Angin kencang, badai petir, dan hujan deras bisa datang tiba-tiba tanpa tanda. Namun di balik itu semua, ada rasa syukur dan keteguhan yang tumbuh: bahwa di tempat terpencil sekalipun, kita belajar untuk selalu waspada, sabar, dan bersyukur atas perlindungan yang masih diberikan.

Terima kasih sudah membaca kisah kecilku kali ini. Semoga cerita sederhana ini bisa menjadi pengingat untuk kita semua, bahwa dalam setiap kejadian bahkan yang tampak sepele  selalu ada hikmah yang bisa disyukuri.

Sampai jumpa di cerita berikutnya, salam hangat dari pedalaman Kalimantan

Sepuluh Tahun di Tumbang Baraoi: Menyaksikan Dunia yang Berubah

Halo, sobat guru pedalaman.
Kali ini aku ingin mengajakmu sedikit bernostalgia, mengenang masa-masa awal ketika aku pertama kali bertugas di pedalaman Kalimantan Tengah  tepatnya di Desa Tumbang Baraoi, Kecamatan Petak Malai. Rasanya waktu berjalan begitu cepat. Sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu sejak hari-hari sederhana itu, namun kenangannya masih lekat di ingatan.


Desa Tumbang Baraoi

Di tahun-tahun pertama aku tinggal di sana, hari-hariku banyak diwarnai oleh tawa dan celoteh anak-anak desa. Hampir setiap sore, aku duduk di beranda taman bacaan masyarakat yang kami dirikan, sambil melihat mereka membaca, bermain, atau sekadar bercanda di halaman depan. Melalui mereka pula aku belajar banyak hal  mulai dari bahasa Dayak, hingga cara memahami kehidupan yang berjalan pelan namun penuh makna.

Kehidupan masyarkat dayak

Maklum, di pedalaman seperti Tumbang Baraoi, anak-anak lebih fasih berbahasa Dayak ketimbang Bahasa Indonesia. Tidak jarang aku dibuat bingung ketika mereka berbicara cepat menggunakan bahasa daerah, dan akhirnya harus meminta mereka mengulang atau menjelaskan maksudnya. Dari situ aku belajar bahwa bahasa bukan sekadar alat untuk berbicara, tapi juga jembatan untuk memahami budaya dan hati orang-orang di sekitarku.

Yang paling kuingat dari masa itu adalah suasana sore di lapangan Buluh Merindu sebuah lapangan sederhana di depan kantor kecamatan yang menjadi pusat kehidupan desa. Sejak pukul dua siang, anak-anak sudah mulai berkumpul, bermain di bawah naungan pohon yang rindang. Saat taman baca mulai buka, mereka datang membaca buku dengan penuh semangat, lalu berlari ke lapangan ketika matahari mulai condong ke barat.

Tidak ada satu pun di antara mereka yang membawa ponsel. Dunia mereka terasa begitu nyata dan hidup. Mainan yang mereka buat pun sederhana tapi penuh daya cipta: mobil-mobilan dari botol oli bekas, atau “senapang kucuk” dari bambu dengan peluru kertas basah. Di musim tertentu, hampir semua anak punya senjata bambu buatannya sendiri , ada pula yang mendapat senapan buatan teman.

Kini, suasana itu mulai memudar. Saat sore tiba, anak-anak lebih sering berkumpul di tempat-tempat yang memiliki akses internet Starlink, sibuk bermain game atau mabar. Permainan tradisional seperti bola, layang-layang, gasing, atau kelereng hanya muncul sesekali di musim tertentu.

Waktu memang telah mengubah banyak hal. Bahkan di tengah pedalaman yang dulu terasa begitu jauh dari dunia modern, gadget dan internet perlahan menggeser kebiasaan lama. Namun, perubahan itu datang tanpa sepenuhnya menghapus keterbatasan: jalan desa masih belum sepenuhnya baik, listrik PLN masih hanya angan-angan, dan sinyal sulit untuk digambarkan dengan kata-kata.

Andai tidak ada Starlink, mungkin kehidupan di Tumbang Baraoi masih akan seperti dulu sunyi, sederhana, dan penuh tawa anak-anak yang berlari di lapangan tanpa membawa ponsel di tangan.

Kadang, diam-diam aku merindukan masa itu. Masa ketika sore selalu diwarnai tawa riang, debu lapangan, dan semangat anak-anak yang sederhana tapi tulus.

Terima kasih sudah singgah membaca ceritaku hari ini.
Semoga kisah kecil dari pedalaman ini bisa mengingatkan kita semua bahwa kemajuan memang penting, tapi kesederhanaan juga punya keindahan yang tak tergantikan. 

Kelas Alam: Cara Kami Menghidupkan Belajar di Pedalaman

Halo Sobat Guru Pedalaman,
Apa kabarnya hari ini? Semoga selalu sehat dan penuh semangat, di mana pun kalian berada.

Ada satu hal yang selalu membuatku bersyukur bisa bertugas di pedalaman Kalimantan  kesempatan untuk belajar dan berbagi dengan cara yang lebih dekat dengan kehidupan. Salah satunya lewat kegiatan kelas alam, atau seperti yang biasa kami sebut, outdoor class.

Kisah guru pedalaman kalimantan

Kelas alam ini adalah bagian dari kegiatan Taman Bacaan Masyarakat Tumbang Baraoi (Taman Baca Baraoi) yang aku dirikan sejak tahun 2014. Awalnya, taman bacaan ini lahir dari kegelisahan sederhana: sulitnya akses terhadap buku bacaan. Saat pertama kali datang dan mengajar di pedalaman, aku menjumpai banyak anak-anak, bahkan yang sudah duduk di bangku SMA, belum lancar membaca.

Aku sering berpikir, bagaimana mungkin mereka bisa memahami pelajaran yang lebih dalam jika membaca saja masih terbata-bata? Aku sadar, kemampuan membaca yang baik tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan, melalui kebiasaan, pengulangan, dan tentu saja  ketersediaan bahan bacaan.

Namun di pedalaman seperti ini, menemukan buku bacaan layak ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Maka, dari keterbatasan itulah aku berinisiatif mendirikan taman bacaan. Tujuannya sederhana: agar anak-anak  dari pra sekolah hingga remaja memiliki tempat untuk berkenalan dengan buku, belajar membaca, dan menikmati dunia pengetahuan.

Beruntung, beberapa rekan guru juga ikut bergabung. Mereka menjadi pengurus sekaligus relawan, menemani anak-anak membaca dan belajar dengan cara yang menyenangkan.

Kelas Alam dan Eksperimen Sains


Praktik sains sederhana elektromagnetik

Pada foto di atas, terlihat Pa Eko, salah satu guru sekaligus tetangga, sedang mengajar anak-anak tentang sains sederhana  elektromagnetik.
Hari itu, anak-anak begitu antusias. Dengan paku, kabel, dan baterai kecil di tangan, mereka mencoba membuat magnet dari benda logam biasa. Perlahan, mereka melihat bagaimana lilitan kabel dan aliran listrik dapat mengubah paku menjadi magnet.

Bagi kami, itu bukan sekadar percobaan sains sederhana. Itu adalah momen belajar yang hidup  saat pengetahuan tak lagi sekadar teori di papan tulis, tapi menjadi pengalaman langsung yang bisa disentuh dan dilihat.

Belajar Tanpa Dinding

Kegiatan seperti ini sering kami lakukan, biasanya di akhir pekan atau sore hari setelah mengajar di sekolah. Tema pembelajarannya beragam, tergantung siapa relawan yang hadir: bisa tentang bahasa Inggris dasar, matematika, atau bahkan kerajinan tangan.

belajar di pedalaman kalimantan
Yang pasti, setiap pertemuan selalu membawa semangat baru  baik bagi anak-anak maupun kami para pengajar. Kami belajar bahwa pendidikan tidak selalu harus terjadi di ruang kelas. Kadang, ia justru tumbuh subur di bawah pohon, di tepi sungai, atau di halaman rumah.

Bagi anak-anak, taman bacaan dan kelas alam ini bukan hanya tempat belajar. Ia menjadi ruang bermain, tempat bertemu teman, dan jendela kecil menuju dunia yang lebih luas.

Dan bagiku, setiap senyum dan tawa mereka adalah pengingat mengapa aku dulu memulai semuanya.

“Membaca bukan hanya tentang mengenali huruf, tapi tentang membuka pintu ke dunia yang tak terbatas.”