Nah, di masa-masa sendiri itulah banyak pengalaman kecil tapi berkesan aku alami. Termasuk urusan sederhana seperti mencari makan sendiri, memancing di sungai, atau mengolah hasil tangkapan untuk menu sehari-hari.
Sore di Tepi Sungai
Suatu sore di hari Kamis, aku seperti biasa memasang jaring di tepi sungai untuk mencari ikan. Tapi karena ada kegiatan lain, aku sempat lupa untuk mengangkatnya. Barulah setelah malam turun, sekitar pukul tujuh, aku bergegas ke sungai mengambil jaring itu. Karena takut turun hujan, aku biasanya tak pernah meninggalkan jaring semalaman. Jika arus tiba-tiba deras, jaring bisa hanyut terbawa air.
Malam itu aku pulang dengan beberapa ekor ikan hasil tangkapan. Aku pun menuju dapur belakang, dapur tambahan yang dibuat sederhana tanpa atap dengan lantai dari kayu Benuas, tempat biasa kami mencuci piring, pakaian, dan membersihkan ikan. Namun karena umur bangunan yang sudah tua, beberapa papan lantainya mulai lapuk dan berlubang.
Di pedalaman ini belum ada listrik PLN, jadi peneranganku hanya berasal dari lampu LED kecil yang tersambung ke power bank. Beberapa ruangan utama rumah memang mendapat pasokan listrik dari aki tenaga surya, tapi cahayanya terbatas.
Suara Aneh di Bawah Lantai
Ketika sedang membersihkan ikan, tiba-tiba aku mendengar suara aneh “grok… grok…” pelan tapi jelas, seperti suara babi kecil. Aku sempat terdiam. Malam Jumat, suasana sunyi, hanya suara serangga dari hutan di belakang rumah. Dalam hati sempat muncul pikiran aneh-aneh.
Namun setelah mencoba menenangkan diri dan memperhatikan lebih seksama, aku melihat sesuatu muncul dari celah kecil di bawah papan dapur: seekor hewan berbulu putih dengan moncong panjang.
Awalnya aku kira landak, tapi bulunya bukan duri, lebih halus, meski tampak kasar karena basah. Ukurannya lumayan besar, hampir seukuran anak kucing. Anehnya, hewan itu sama sekali tidak tampak takut padaku. Ia justru berusaha naik ke dapur, mengendus-endus sisa perut ikan yang tadi aku sisihkan.
Karena penasaran, aku mengambil kamera dan memberinya seekor ikan kecil. Ia langsung menggigit dan menariknya ke bawah papan. Saat itulah aku berhasil mengabadikan foto yang menurutku cukup langka seekor tikus bulan berwarna putih yang sedang makan ikan di hadapan ku.
Si Tikus Bulan yang Misterius
Beberapa hari kemudian, setelah membaca dari beberapa sumber dan buku satwa liar Kalimantan, aku baru tahu kalau hewan itu bukan tikus biasa. Namanya tikus bulan atau moonrat (Echinosorex gymnura).
Tikus bulan ini sebenarnya bukan tikus dalam arti sesungguhnya, melainkan termasuk keluarga landak bulan (Erinaceidae), yang masih berkerabat dengan landak mini (hedgehog). Habitatnya tersebar di hutan tropis Asia Tenggara, termasuk di Kalimantan, Sumatra, dan Semenanjung Malaya.
Ciri khasnya adalah moncong panjang, tubuh besar (bisa mencapai 40 cm), dan bau tubuh yang cukup menyengat mirip campuran tanah dan hewan pengerat. Warna bulunya bervariasi dari cokelat gelap hingga putih pucat. Yang aku temui malam itu adalah jenis yang berwarna putih dominan, seperti dalam foto di atas.
Tikus bulan aktif pada malam hari dan dikenal sebagai pemakan serangga, cacing, katak, dan kadang juga ikan kecil. Mereka jarang terlihat karena sifatnya yang soliter dan pemalu, sehingga pertemuan dengannya bisa dibilang cukup langka apalagi di sekitar permukiman manusia.
Penutup
Malam itu menjadi salah satu pengalaman tak terlupakan selama aku tinggal sendiri di pedalaman. Dari rasa kaget, penasaran, sampai akhirnya merasa bersyukur bisa melihat langsung satwa liar yang jarang muncul di hadapan manusia.
Hidup di pedalaman memang selalu penuh kejutan. Kadang datang dari hal-hal kecil, dari suara di bawah lantai dapur, atau dari seekor tikus bulan yang diam-diam ikut mencuri ikan di malam yang sunyi.