Menguak Pengobatan Gondongan Dalam Tradisi Banjar dan Dayak

Halo, Sahabat Guru Pedalaman. Semoga semua sehat, banyak rezeki serta selalu dalam limpahan rahmat dari Allah, SWT Tuhan Yang Maha Esa. Beberapa hari terakhir, aku mengalami kondisi kesehatan yang cukup mengganggu. Tanpa tanda-tanda yang jelas sebelumnya, tiba-tiba bagian bawah telinga hingga ke dagu dan leher terasa nyeri dan mulai membengkak. Saat pertama kali meraba bagian itu, aku punya dugaan kuat itu adalah gondongan atau Kabagusan (dalam bahasa Banjar) Penyakit yang dulu sering  kulihat dialami anak-anak sekolah.

Aku cukup tahu bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus dan biasanya akan sembuh dengan sendirinya, seperti flu pada orang yang sehat. Asalkan istirahat, minum cukup air, dan menjaga kekebalan tubuh, proses pemulihan akan berjalan dengan baik. Karena itu, aku memilih untuk tidak terlalu bergantung pada obat-obatan modern, selama gejala tidak terlalu parah. Kadang aku berpikir, terlalu mudah minum obat bisa membuat tubuh lupa cara melawan penyakit secara alami.

Namun, ada sesuatu yang membuatku sedikit lebih berhati-hati: penyakit ini menular. Sebagai seorang guru di pedalaman Kalimantan Tengah, aku tetap harus hadir ke sekolah. Hanya saja, aku berupaya meminimalkan kontak dengan murid dan rekan guru. Rasanya tidak enak menghindar dari orang-orang, tetapi ini bentuk tanggung jawab agar tidak membahayakan mereka.

Di hari pertama dan kedua, aku mencoba pengobatan tradisional yang kuingat dari tanah kelahiranku di Kalimantan Selatan: daun Pyrrosia piloselloides, atau yang sering kami sebut paku deduitan / sisik naga. Daun ini tumbuh menempel di batang pohon atau dinding rumah yang lembab. Sejak dulu, masyarakat kami mempercayai bahwa tanaman ini dapat membantu meredakan pembengkakan dan peradangan.

Cara meramunya sangat sederhana:
Daunnya dipetik, dicuci bersih, lalu dihaluskan. Untuk memudahkan saat dibalurkan, aku mencampurnya dengan sedikit bedak dingin. Setelah itu tinggal ditempelkan pada bagian yang sakit dan agak bengkak.

Anehnya… setelah dua hari, aku benar-benar merasa bahwa pembengkakan di sisi kanan mulai berkurang. Nyeri ketika mengunyah pun tidak terlalu terasa. Mungkin karena efek dingin dan menenangkannya, mungkin juga karena proses penyembuhan alami tubuh — aku tidak tahu pasti. Tetapi rasanya cukup membantu.

Di kampungku, gondongan juga dikenal sebagai Kabagusan. Banyak orang Banjar terbiasa mengoleskan Blau bubuk biru seperti pemutih pakaian  pada bagian yang bengkak. Walaupun cara ini populer, sampai kini tidak ada bukti ilmiah bahwa Blau punya kandungan yang dapat mengobati gondongan.

Namun, setiap daerah punya tradisi dan keyakinannya sendiri, bukan? Dan tumbuh di lingkungan yang penuh cerita, aku tumbuh untuk menghargai semua bentuk ikhtiar manusia dalam menghadapi sakit.

Di tempat tugasku sekarang, Katingan, masyarakat menyebut penyakit ini Pangguk. Cara pengobatannya pun unik: memakai tanah dari sarang serangga kecil yang sering menempel di dinding atau jendela. Orang Banjar menyebut serangga ini angkut-angkut.
Obat tradisional Gondongan

Waktu kecil aku sempat ditakut-takuti bahwa tanah yang mereka bawa itu berasal dari kuburan. Mungkin hanya petuah agar kami tidak iseng merusak sarang dan membuat rumah kotor. Atau bisa jadi dulu, karena letak pemakaman sering berada di samping atau belakang rumah, orang benar pernah melihatnya mengambil tanah di sana. Entahlah  kisah masa kecil memang selalu dibumbui misteri.

Pengobatan tradisional Pangguk atau kabagusan

Pada hari keempat, saat sisi kiri rahangku mulai ikut sakit dan berpotensi membengkak, aku akhirnya mencoba ramuan tanah angkut-angkut ini. Dicampur air menjadi seperti bedak basah, lalu kuoleskan ke bagian yang sakit. Sensasinya dingin dan cukup menenangkan, meski sejauh ini belum tampak pengurangan bengkak yang signifikan. Tapi aku tetap mencoba  sambil menunggu waktu bekerja.

Cara pengobatan tradisional untuk gondongan

Kini memasuki hari kelima, bengkaknya tidak makin buruk, tapi juga belum pulih sepenuhnya. Aku tetap percaya tubuh punya kemampuan menyembuhkan diri sendiri dan aku sedang memberinya kesempatan itu.

Aku tahu bahwa apa yang kulakukan ini lebih bersifat tradisional dan uji coba pribadi. Karena itu:

Saya memilih pendekatan tradisional dan pengalaman sendiri, sambil tetap menghindari kontak sosial agar tidak menulari orang lain. Namun saya tetap menyarankan siapa pun yang mengalami gejala serupa apalagi gejala berat, demam tinggi, atau pembengkakan yang makin parah untuk mempertimbangkan pemeriksaan medis.

Tradisi bisa menyimpan kearifan, tetapi kesehatan tetap prioritas.

Kalau nanti ada perkembangan menarik, mungkin aku akan menuliskannya lagi. Semoga pengalaman kecil ini bisa menjadi catatan budaya, kesehatan, dan hidup sederhana sebagai guru di pedalaman Kalimantan.

Jika kalian punya pengalaman yang sama atau cara berbeda menangani penyakit ini, jangan sungkan untuk berbagi di kolom komentar ya !

Terima kasih sudah membaca. Salam hangat dari, Guru Pedalaman 

Dari Pedalaman untuk Masa Depan Hijau: Dukungan Seorang Guru untuk Pendidikan Lingkungan

Halo para pembaca yang budiman,
Beberapa waktu lalu, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan arahan agar sekolah menambahkan jam pelajaran terkait kepedulian terhadap lingkungan dan pelestarian hutan. Walaupun mungkin terasa sedikit terlambat, bagiku arahan ini justru menjadi kabar yang menggugah semangat. Terlebih lagi, di tempat aku mengabdi sebagai tenaga pendidik di pedalaman Kalimantan Tengah sejak tahun 2014, isu ini sudah menjadi keresahan dan perjuanganku selama lebih dari satu dekade.
Pendidikan Lingkungan
Saat pertama kali menjejakkan kaki di sini, aku menemui dua persoalan utama yang begitu mencolok: kemampuan membaca anak-anak yang masih sangat lemah dan kesadaran lingkungan yang belum menjadi perhatian bersama. Sebagian besar keluarga menggantungkan hidup pada pertambangan emas secara konvensional yang oleh pemerintah disebut sebagai PETI. Kita tahu bersama bahwa aktivitas itu bukan hanya merusak alam, tetapi juga tidak berkelanjutan. Cepat atau lambat sumbernya akan habis, atau ketika penegakan hukum semakin kuat, aktivitas itu tidak lagi bisa dijadikan sandaran ekonomi.

Jika generasi penerus tidak memiliki alternatif, mereka akan berada pada posisi yang sulit: kehilangan sumber penghasilan namun juga kehilangan hutan aset terbesar yang seharusnya bisa menjadi modal mereka hidup di masa depan.

Karena kekhawatiran itulah aku mulai memikirkan pendidikan lingkungan sebagai bagian dari misi mengajar di sini. Melalui Taman Baca Baraoi yang aku dirikan sejak tahun 2014, anak-anak tidak hanya belajar membaca, menulis, dan berhitung. Mereka juga belajar mengenal alam, menanam pohon, menjaga tanaman buah lokal, dan menghindari kebiasaan merusak lingkungan. Kami mengadakan kegiatan bersih-bersih kampung dan lingkungan, kampanye kecil tentang pengelolaan sampah, hingga praktik langsung menanam pohon setiap kali kami melaksanakan kemah literasi.

Aku paham sepenuhnya: menumbuhkan kesadaran lingkungan tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu waktu panjang, perlu teladan, dan perlu konsistensi. Namun satu hal yang membuatku terus yakin adalah perubahan kecil yang nyata terlihat dari tahun ke tahun. Banyak anak yang kini tumbuh besar dengan cita-cita yang lebih variatif bukan lagi menjadi penambang atau bekerja mengambil kayu di hutan. Mereka mulai memandang pendidikan sebagai jalan yang lebih menjanjikan dan bermartabat bagi masa depan mereka.

Maka wacana kurikulum lingkungan di sekolah bukan sekadar program baru bagiku. Ini adalah penguatan bagi perjuangan yang selama ini telah dilakukan banyak guru, terutama di daerah yang langsung bersentuhan dengan kerusakan lingkungan. Jika diterapkan dengan serius, aku yakin akan semakin banyak generasi muda yang mencintai hutan bukan karena itu sumber kayu atau emas, tetapi karena di sanalah masa depan mereka sesungguhnya berada.

Aku percaya, dari pedalaman seperti Petak Malai ini, perubahan besar itu bisa dimulai.
Perlahan tapi pasti, selama kita terus menanam, suatu saat hutan kesadaran itu akan tumbuh.

Salam hangat dan hijau,
Seorang Guru dari Pedalaman Kalimantan

Dari Pedalaman Kalimantan untuk Indonesia: Renungan Seorang Ayah dan Guru di HGN ke-80

Halo, sahabat guru pedalaman,
Terima kasih sudah tetap setia membaca tulisan-tulisanku di blog sederhana ini. Semoga kita semua selalu dalam keadaan sehat dan dalam limpahan rahmat Tuhan Yang Maha Esa.

Curhat Guru Pedalaman di Hari Guru Nasional 2025

Pada tulisan kali ini aku ingin berbagi sedikit refleksi pribadi tentang peringatan Hari Guru Nasional 2025 yang sekaligus menjadi momentum 80 tahun penghargaan terhadap profesi guru di Indonesia. Tahun ini, PGRI Kecamatan Petak Malai menunjuk SMAN 1 Petak Malai sekolah tempatku mengajar, sebagai tuan rumah kegiatan. Rencananya, kegiatan ini ingin mempertemukan semua jenjang pendidikan yang ada di kecamatan kami. Namun karena beberapa kendala, akhirnya perayaan hanya dihadiri oleh seluruh lembaga pendidikan di Desa Tumbang Baraoi, ibu kota Kecamatan Petak Malai.

Untuk cerita lengkap mengenai jalannya acara dan keseruannya, kamu bisa membaca tulisan lainku: Seru dan Penuh Kebersamaan: Peringatan HGN ke-80 di Kecamatan Petak Malai.
Namun di tulisan ini aku ingin fokus pada sesuatu yang lebih personal sebuah pandangan kecil sebagai guru yang mengabdi di pedalaman.

Refleksi 11 Tahun Mengajar di Pedalaman

Sebagai guru perantau yang sudah 11 tahun hidup dan bekerja di pedalaman Kalimantan, aku menyaksikan satu fenomena yang menarik dan cukup kompleks: banyak keluarga memilih menyekolahkan anak-anak mereka ke kota, meskipun sekolah pedalaman juga berusaha semampunya memberikan yang terbaik. Pertimbangan mereka tentu beragam, kualitas pendidikan yang belum merata, minimnya fasilitas, keterbatasan ekonomi, hingga soal akses yang sulit. Semua itu wajar dan manusiawi.

Namun yang membuatku justru merenung adalah kenyataan bahwa aku sendiri melakukan sebaliknya. Di saat sebagian besar masyarakat mengirimkan anak-anaknya ke kota, aku justru membawa kedua putriku dari kota ke pedalaman.

Bukan karena fasilitas di sini lebih baik, tentu tidak. Tetapi karena aku percaya bahwa fondasi pendidikan yang paling utama tidak hanya terletak pada sekolah, melainkan pada rumah dan ekosistem kecil yang mengelilingi anak.

Sekuat apa pun sistem pendidikan dibangun, secanggih apa pun fasilitas yang disediakan, jika dukungan keluarga dan masyarakat tidak hadir, pertumbuhan anak tidak akan pernah optimal.
Itulah mengapa aku meyakini bahwa peran orang tua, keluarga, dan lingkungan sekitar adalah support system paling dasar dalam proses belajar seorang anak.

Dua Putri Kecilku dan Arti Penting Sebuah Proses

Pada peringatan HGN tahun ini, aku merasa sangat bersyukur melihat kedua putriku ikut serta dalam kegiatan. Si bungsu yang mengikuti lomba mewarnai, dan si sulung yang ikut Lomba Cerdas Cermat. Mereka memberikan yang terbaik, dan aku tentu bangga.

Namun bagiku, yang lebih patut diapresiasi bukanlah piala atau sertifikatnya. Yang paling berharga adalah proses yang mereka jalani: keberanian mencoba, kegigihan berlatih, dan kemauan untuk terus tumbuh.

Sebagai guru dan sebagai orang tua, melihat hal itu saja rasanya sudah cukup menjadi hadiah Hari Guru Nasional tahun ini.

Menatap Harapan Baru untuk Pendidikan Pedalaman

Beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah melalui dinas pendidikan provinsi telah menyalurkan berbagai program digitalisasi pembelajaran mulai dari perangkat, jaringan Internet, listrik tenaga surya, hingga pelatihan-pelatihan. Setidaknya, kini kesenjangan antara sekolah di kota dan pedalaman tidak lagi sejauh dulu.

Aku berharap perkembangan ini bisa mengubah cara pandang masyarakat bahwa sekolah di pedalaman bukanlah pilihan kedua. Bahwa anak-anak bisa tetap belajar dengan baik di dekat rumah, di tengah komunitas yang mencintai mereka.

Jika dukungan keluarga, sekolah, dan masyarakat berjalan seiring, aku percaya pendidikan di pedalaman akan terus melangkah maju.

Terima kasih sudah membaca refleksi kecilku kali ini.
Semoga di momentum HGN ke-80 ini kita semua para guru, orang tua, dan masyarakat semakin dikuatkan untuk mendampingi anak-anak membangun masa depan mereka.

Sampai jumpa di tulisan berikutnya, sahabat pedagog pedalaman. Semoga selalu diberkahi dan tetap semangat menginspirasi!

Kisah Guru Pedalaman : Pohon Tumbang Menimpa Rumah

www.mjumani.net - Halo Sobat Guru Pedalaman, kembali lagi dengan kisah keseharian ku selama bertugas di pedalaman Kalimantan. Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan selalu dalam limpahan rezeki dari Tuhan Yang Maha Esa. Kamis petang itu, seperti biasa, aku pulang menjelang magrib setelah bermain sepak bola di lapangan Buluh Merindu, Kecamatan Petak Malai. Badan penuh debu dan keringat, aku segera bergegas menuju kamar mandi. Di luar, langit tampak muram awan hitam bergulung, angin bertiup kencang, dan aroma tanah basah mulai terasa. Tanda-tanda hujan lebat sudah di depan mata.

Kisah Guru Pedalaman

Belum lama aku berada di kamar mandi, tiba-tiba terdengar suara menggelegar begitu keras, nyaring, dan memekakkan telinga. Suara itu membuat jantung seisi rumah berdebar kencang, bahkan para guru di rumah sebelah pun keluar untuk memastikan apa yang terjadi. Sekilas, kami semua mengira itu suara petir yang menyambar di sekitar perumahan.

Selesai mandi, aku langsung menuju kantor untuk mencabut beberapa stop kontak peralatan elektronik  sebuah kebiasaan kecil yang selalu kulakukan setiap kali hujan dan petir datang, demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Namun ada yang ganjil malam itu. Setelah beberapa saat, tak terdengar satu pun dentuman petir susulan, tak ada kilat yang menyambar, dan hujan pun turun hanya sebentar. Suasana sepi, tapi rasa penasaran makin besar.

Akhirnya aku mengambil senter dan melangkah ke belakang rumah. Di sanalah sumber suara itu terjawab. Sebatang pohon karet tua rupanya tumbang dan menimpa atap rumah, dari bagian dapur hingga ke puncak genteng. Syukurlah, batangnya tidak terlalu besar, dan pohon itu sudah kering. Kalau tidak, mungkin ceritanya akan jauh lebih menegangkan.

Karena malam sudah semakin larut dan hujan masih turun rintik-rintik, aku memutuskan untuk mengevakuasinya keesokan hari saja. Malam itu aku duduk sejenak di ruang tamu, masih mendengar suara angin di luar yang terus berdesir. Dalam hati, aku bersyukur—bukan hanya karena rumah masih aman, tapi juga karena kejadian kecil itu menjadi pengingat bahwa hidup di daerah pedalaman memang penuh dengan kejutan dan pelajaran.

Cuaca di Petak Malai sering kali sulit ditebak. Angin kencang, badai petir, dan hujan deras bisa datang tiba-tiba tanpa tanda. Namun di balik itu semua, ada rasa syukur dan keteguhan yang tumbuh: bahwa di tempat terpencil sekalipun, kita belajar untuk selalu waspada, sabar, dan bersyukur atas perlindungan yang masih diberikan.

Terima kasih sudah membaca kisah kecilku kali ini. Semoga cerita sederhana ini bisa menjadi pengingat untuk kita semua, bahwa dalam setiap kejadian bahkan yang tampak sepele  selalu ada hikmah yang bisa disyukuri.

Sampai jumpa di cerita berikutnya, salam hangat dari pedalaman Kalimantan