www.mjumani.net - Sejujurnya hobi berkemah ini bukanlah hobi kemaren sore, melainkan salah satu kegiatan yang paling mimin gamari sejak jaman Sekolah Menengah Pertama (SMP). Masih ingat waktu itu, kami sering melakukan perkemahan yang "nyeleneh". Tapi ini bukan aktivitas yang negatif atau melanggar hukum ya, hanya saja pada masa itu kami sering berkemah di tempat dan kondisi yang kalau orang sekarang bilang "anti mainstream".
|
Anggota Tim Kemah Bukit Bakung |
Bersama-sama, kami sekumpulan anak yang mungkin sedikit agak "miring" ini pernah berkemah di sekitar area kebakaran hutan rawa. Di saat sebagian masyarakat memilih mengungsi karena kabut asap, kami sebaliknya justru mendirikan tenda di sana. Pada masa itu yang kami maksud dengan tenda adalah terpal yang didirikan berbentuk segitiga ditambah dengan alas berupa tikar.
|
Tenda Eiger Rendezvous milik Alva anggota tim |
Sepanjang malam kami hanya bisa memandangi kebakaran hutan hebat yang masih merejalela hingga tengah malam, saat memasuki dini hari api barulah mulai pasif. Pemandangan merah menyalapun berangsur-angsur menghilang. Setelah terlelap beberapa jam, kami bangun dengan keadaan bingung. Karena suasana berubah seperti sedang berada di dalam gumpalan awan. Jangankan melihat rekan, bahkan dalam posisi berdiri, jari kaki sendiri saja tidak terlihat.
Rupanya aktifitas pasif api yang menggerogoti gambut menghasilkan lebih banyak kabut asap. Alhasil pada dini hari daerah disekitar kebakaran akan diselimuti kabut yang amat tebal. Dengan jarak pandang kurang dari satu meter, kondisi penglihatan hanya sedikit lebih baik dari pada orang buta. Di jalanan orang-orang tidak bisa berkendara. Mobil dan sepeda motor yang terpakir, tak jarang tertabrak oleh pejalan kaki. Kabut akhirnya mulai berkurang saat matahari mulai meninggi, dan kami pun akhirnya juga bisa berkemas untuk pergi.
Begitulah cerita awal mimin mulai menggeluti dunia perkemahan 😂. Sekarang, di waktu senggang hobi itu masih kerap dilakukan. Hanya saja teman se frekuensi dan satu alirannya yang berbeda. Tapi anehnya, model-model perkemahannya masih sama, anti mainstream. Sebut saja perkemahan kami beberapa waktu lalu di Bukit Bakung.
Bukit Bakung ini adalah satu di antara sekian banyak bukit yang ada di sekitar kampung tempat tugas mimin yaitu Desa Tumbang Baraoi. Namanya naik daun karena pernah menjadi salah satu bukit paling "menyiksa" bagi pengendara yang akan memasuki desa. Walaupun dilihat dari segi tinggi tidak seberapa, namun track jalan yang berkelok dan sangat licin terutama ketika hujan membuat tidak sedikit sopir dan penumpang yang harus menginap atau terpaksa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.
Namun cerita itu sudah beberapa tahun yang lalu, sekitar dua atau tiga tahun yang lalu jalan di bukit ini pernah diperbaiki dengan diberikan urukan batu latrit sehingga kondisinya tidak lagi licin lagi seperti dulu. Selama urukan kerikil latrit ini tidak hilang, maka jalan ini relatif aman dilalui meski kondisi sedang hujan.
Berkemah di Bukit Bakung sebenarnya bukan agenda yang direncanakan. Awalnya, Sabtu 4 Maret 2023 tersebut kami akan mengadakan perkemahan di Rangan Nyamuk. Namun, ada beberapa masalah teknis, yakni akibat hujan deras malam harinya, perahu motor untuk menuju lokasi ternyata tenggelam dan mesinnya harus mendapatkan beberapa perawatan terutama oli. Oleh karena itu, kami membuat beberapa perubahan rencana dan memilih lokasi Bukit Bakung.
Beberapa pertimbangan memilih lokasi ini antara lain:
- Ada danau/ embung
- Ditempuh jalur darat
- Ingin melihat kebun milik Bapak Hadriansyah
Adapun tiga alasan tersebut maksudnya adalah sebagai berikut :
1. Danau/ Embung Adanya danau/ embung ini multi fungsi, pertama sebagai sumber air, kedua sebagai sumber lauk karena biasanya setiap pergi berkemah kami akan membawa perlengkapan tangkap ikan, baik pancing ataupun jala dan sejenisnya. Sehingga, kegiatan berkemah lebih seru dengan memasak ikan hasil tangkapan, tidak hanya itu embung ini juga punya nilai plus yakni habitat bagi tanaman bakung. Dengan adanya tanaman ini kami dapat tambahan satu bahan persediaan untuk diolah menjadi sayur.
2. Ditempuh jalur darat
Kalau yang ini sudah pasti karena perahu motor kami sedang tidak bisa digunakan. Oleh karena itu lokasi yang dipilih sementara hanya untuk yang dapat diakses dengan jalur darat menggunakan motor.
3. Ingin melihat kebun milik Bapak Hadriansyah
Sewaktu kegiatan Kemah Bakti Literasi tahun 2022, Bapak Hadriansyah selaku Kordinator Wilayah Bidang Pendidikan menawarkan diri memfasilitasi tempat kegiatan Kemah Bakti Literasi selanjutnya, menurut beliau lokasinya cukup bagus, ada areal datar untuk kemah, sumber air bersih, dan toilet dan fasiltias lainnya. Oleh karena itu kami berencana "uji coba" tempat yang di maksud.
Dengan persiapan yang ala kadarnya kami akhirnya berangkat sekitar pukul empat sore. Beberapa menit berselang setelah keberangkatan rintangan pertama muncul, motor mimin tiba-tiba ngambek. Akses jalan menuju lokasi memang banyak bukit, setiap satu atau dua bukit motor mimin tiba-tiba mati. Apesnya ketika mati ditengah-tengah bukit tidak ada pilihan bagi motor butut ini selain cuma bisa berhenti. Untuk sampai ke puncak bukit, maka harus ada anggota tim yang menjadi "korban" untuk mendorong. Dengan tambahan bobot muatan perlengkapan kemah ditambah psosisinya menanjak sudah pasti membuat siapapun yang mengambil tugas ini ngos-ngosan.
Setelah kejadian serupa terjadi beberapa kali, tim akhirnya berdiskusi untuk mencari solusi. Satu kata yang di mufakat adalah selama langit tidak runtuh, perjalanan harus tetap lanjut. Dugaan sementara, motor butut ini minta ganti busi. Sebab walaupun dari hasil cek masih mengindikasikan kelistrikan normal. Kejadian agak serupa pernah terjadi beberapa bulan lalu, sedikit alasan yang membuat ragu adalah busi ini masih baru dan mungkin belum berumur seminggu. Tetapi lebih baik berspekulasi dari pada tidak ada solusi sama sekali. Akhirnya dua orang anggota tim kembali ke desa dan membeli busi baru.
Selama menunggu, mimin dan beberapa anggota tim mencoba mencari sumber masalahnya, namun namanya bukan ahlinya hasilnyapun bisa dapat diduga, nihil. Entah mengapa waktu begitu cepat berlalu, padahal estimasi ke tempat tujuan paling lama hanya sekitar 30 menit, namun sudah hampir jam lima sore kami bahkan belum menempuh setengah perjalanan. Hal yang membuat tim semakin cemas adalah wajah langit yang tadinya cerah kini semakin masam. Hamparan awan hitam yang menggulung dari Barat bergerak cepat ke arah kami. Searah dengan asal awan ini kami mendapati Pak Harke yang tampaknya juga sedang tergesa-gesa menuju desa. Karena melihat kami, ia pun berhenti. Kendati juga tidak dapat membantu mengatasi permasalahan kami, beliau tetap bertahan sementara untuk menemani kami mengobrol hingga dua anggota tim yang tadi kembali.
Benar kata orang bijak, jangan terlalu banyak berharap karena semakin besar harapanmu semakin besar potensi kekecewaanmu. Busi yang di bawa oleh kedua anggota tim ternyata beda tipe dari busi motor mimin. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, mungkin karena mimin sendiri yang salah karena tidak pergi sendiri atau tidak membiarkan mereka membawa sampel busi yang ada atau bisa jadi karena terlalu berharap kedua orang ini bisa lebih "jenius". Alhasil busi baru yang ukuran bagian dratnya lebih panjang ini hanya disimpan.
Awan hitam semakin dekat, pertanda hujan yang akan turun sangat lebat. Tapi tim kami benar-benar militan, semangat "Pantang Pulang" tetap dipegang. Kami akhirnya melanjutkan perjalanan, tentunya dengan kondisi motor butut mimin yang masih sakit-sakitan. Untuk mengurangi beban, sebagian peralatan dibagi dengan anggota lain dan pada setiap tanjakan anggota tim akan bersiaga kalau-kalau motor mimin tiba-tiba meninggoy.
Setelah melewati perjalanan penuh liku, tim akhirnya berhasil tiba di sekitar lokasi. Namun seolah tidak ingin melepaskan kami, hamparan awan hitam bergumpal-gumpal yang bergerak cepat itu juga sudah datang dengan hembusan angin deras. Tanpa pikir panjang tim langsung sepakat dan bergerak cepat mendirikan tenda di areal yang memungkinkan. Areal ini tidak lah ideal, karena masih berjarak puluhan meter dari embung dan jalurnya tampak baru saja digusur menggunakan alat berat sehingga belum padat. Tetapi karena kondisinya mendesak, saat ini tidak ada pilihan lain. Dalam kurun waktu lima menit, dua tenda berhasil diselesaikan oleh tim. Satu untuk tempat tidur, sedangkan lainnya untuk tempat menyimpan kayu bakar dan memasak.
Aktivitas membangun tenda, mengumpulkan kayu bakar dan menyimpan perlengkapan ini benar-benar sangat cepat, semua tim bekerja dengan efektif dan efesien sehingga dalam kurun waktu lima menit ini semua terselesaikan bertepatan dengan mulai berjatuhannya bulir-bulir air dari langit. Hujan lebat, disertai angin yang relatif deras membuat kami hanya bisa tinggal di dalam tenda. Menikmati kue pais labu yang di bawa oleh Alva dan secangkir teh hangat.
Sekitar pukul tujuh malam, hujan lebat berangsur-angsur menjadi gerimis. Tim mulai melanjutkan aktivitas di luar tenda, Andhika bertugas menyiapkan api untuk memasak, sedangkan trio Alva, Sandi, dan Ryan memasang banjur (sejenis pancing untuk menangkap ikan), dan mimin sendiri bertugas mencuci beras dan mengambil persediaan air.
Jalan yang licin dan becek akibat guyuran hujan membuat aktivitas sedikit kurang nyaman. Kondisi ini membuat kami lebih banyak menghabiskan waktu di dalam tenda dan hanya keluar saat ada keperluan mendesak. Setelah makan malam, kami menghabiskan waktu bercerita satu sama lain tentang banyak hal sebelum akhirnya beristirahat.
Keesokan paginya, tim kembali melaksanakan tugas masing-masing. Seperti sebelumnya Trio Alva cs, pergi menjenguk hasil banjurnya, mimin sendiri seperti biasa mencuci perkakas makan, mengambil persediaan air dan mencuci beras untuk dimasak. Sedangkan Andhika menyiapkan api, memasak air dan bahan-bahan untuk di masak.
Setelah tugas mimin selesai, mimin pergi ke ujung jalan setapak yang sebenarnya membuat kami penasaran. Seperti rencana awal, kami sebenarnya ingin mencoba lokasi yang disebutkan Bapak Hadriansyah, menurut beliau titiknya tidak jauh dari posisi pondok sayangnya waktu dan kondisi cuaca saat itu tidak memungkinkan. Karena belum ada yang pernah ke sana jadi tidak ada yang tahu persis seberapa jauh lokasinya dari posisi tenda kami. Oleh karena itu, untuk menjawab penasaran mimin menyusuri ujung jalan setapak.
Dalam pikiran mimin untuk tiba di pondok tersebut mungkin perlu satu atau dua kilometer lagi, namun ternyata di luar dugaan setelah berjalan kurang lebih 100 meter terlihat kepulan asap dari sebuah pondok. Meski disebut sebuah pondok, bangunan ini terbilang cukup besar dan lengkap baik perabotan, tempat tidur termasuk toilet. Untuk memastikan mimin mencoba memanggil pemilik rumah dan benar saja sesaat kemudian munculah sosok Bapak Hadriansyah. Rupanya karena hujan kamaren sore beliau juga memutuskan menginap di pondok, dan pagi ini dia sedang merebus air untuk menyeduh kopi.
Setelah mengobrol sebentar, mimin meminta ijin untuk mengambil air dari sumber air yang ada tidak jauh dari pondok. Sumber air ini sangat jernih dan segar. Sebelum pulang, beliau juga menyempatkan memetik 2 buah cempedak dan setandan pisang mahuli. Akan tetapi karena tidak mampu membawanya, mimin meminta ijin untuk mengambilnya saat akan berkemas pulang bersama tim. Apalagi beliau juga bilang baru akan pulang sekitar jam sembilan pagi nanti, masih ada waktu sekitar 2 jam lagi.
Saat kembali ke tenda, sembari menunggu dan menemani Sandi dan Ryan memasak sayur tumis Bakung campur Kelakai. Miminpun menceritakan hasil temuan kepada tim, termasuk rejeki dua buah cempedak dan setandan pisang hadiah dari Bapak Hadriansyah. Kamipun juga sepakat untuk singgah ke pondok beliau setelah makan dan berkemas.
Makan pagi dengan lauk ikan gabus hasil banjur Alva cs plus tumis bakung dan kelakai yang masih hangat benar-benar nikmat. Setelah semua anggota tim makan dengan lahap, saatnya berkemas. Kondisi tanah bekas hujan yang becek membuat tenda ikut menjadi kotor, jadi kami berencana pergi kesungai untuk mencucinya sekaligus mencuci perlengkapan makan.
Usai berkemas tim tidak lupa berangkat ke pondok Bapak Hadriansyah, namun sesampainya di sana kami tidak menemukan beliau. Karena penasaran anggota tim mencoba berpencar untuk mencari beliau karena dugaan kami ia sedang membersihkan kebun. Saat proses pencarian ini, Alva, Sandi dan Ryan menemukan sebatang pohon Jambu Bol yang sedang berbuah cukup lebat. Buah-buah yang merah ranum tampak menggiuarkan, alhasil kami yang tadinya hanya ingin mengucapkan terimakasih dan berpamitan untuk mengambil dua buah cempedak dan setandan pisang bertahan dan menunggu sambil mengobrol. Tentu saja modus lainnya adalah ingin meminta ijin membawa pulang beberapa buah jambu untuk di pencok (di rujak).
|
Menunggu di Pondok Bapak Hadriansyah |
Kurang lebih setengah jam menunggu, akhirnya Bapak Hadriansyah kembali dari kebun. Agar tidak malu alias malu-maluin kamipun kembali berbincang sebentar sebelum akhirnya mengutarakan niat meminta buah jambu tadi. Sebanarnya hasilnya sudah dapat ditebak beliau pasti akan mengijinkan, hanya saja mengambil tanpa permisi itu tidak ubahnya mencuri. Jadi lebih baik malu dari pada menanggung dosa yang tidak perlu.
Terimakasih kepada Bapak Hadriansyah, kami benar-benar mendapatkan banyak berkah dari perjumpaan kali ini dan kami minta maaf jika selama pertemuan ini ada sikap kami yang kurang berkenan, kami hanya bisa mendoakan semoga bapak sehat dan hasil kebunnya semakin melimpah. Apalagi sebentar lagi musim durian, semoga tidak jera menerima kunjungan kami berikutnya 😄.
Masih dengan motor yang sakit-sakitan, kami berangkat menuju sungai yang berjarak kurang lebih 500 meter dari lokasi tenda. Sungai ini dinamakan Sungai Tapi yang hilirnya akan bertemu dengan anak Sungai Samba. Sungai ini relatif jernih jadi kami mencuci perlengkapan makan dan masak serta tenda di sini. Momen berada di aliran air yang sejuk dan jernih ini tentu sangat mubazir kalau tidak di manfaatkan untuk sekalian mandi, tanpa perlu komando semua tim langsung nyebur.
Sesaat sebelum pulang kami masih sempat mencoba beberapa upaya untuk memperbaiki motor mimin, tetapi hasilnya masih sama. Ketika lewat satua tau dua bukit, terutama saat ditanjakan mesin akan mati. Saat perjalanan sudah hampir separuhnya, Andhika mengusulkan untuk tetap memasang busi yang baru dibeli kemarin. Hanya saja, saat memasang harus benar-benar dipastikan agar kedalaman drat yang masuk tidak melebihi panjang drat busi yang lama, sebab jika tidak mungkin dapat merusak piston motor. Alhasil setelah dipasang dan dipastikan tidak terlalu dalam, akhirnya motor bisa hidup dan berjalan normal hingga tiba di tempat start. Andai saja cara ini di aplikasikan dari kemaren mungkin kegiatan perkemahan kali ini sedikit lebih menyenangkan. Tapi tentu saja semua ada hikmahknya, tetap bersyukur dan tetap jalani semua tanp mengeluh. Karena setelah sedikit kesulitan dan penderitaan akan ada kisah yang pantas diceritakan. Terimakasih sudah membaca postingan kali ini, sampai bertemu dicerita mimin berikutnya, sampai jumpa.